Thursday, January 26, 2012

Aung San Suu Kyi: An Endless Battle


Terkurung selama 15 tahun sebagai tahanan rumah tak membuat kharisma Aung San Suu Kyi memudar di mata pendukungnya dan warga dunia. Ia tetap menjadi ikon perjuangan demokrasi bagi rakyat Myanmar dan dunia.



Pada 13 November 2010, sore sekitar pukul 5, Aung San Suu Kyi berjalan mantap melewati pagar rumahnya. Ia melambaikan tangan dan menyalami kerumunan yang menantinya, tak sabar melihat pemimpin mereka keluar dari rumah yang selama ini menjadi penjaranya. Hari yang ditunggu-tunggu selama dua puluh tahun oleh Aung San Suu Kyi, keluarganya, rakyat Myanmar (juga dikenal sebagai Burma) dan sebagian besar warga dunia akhirnya datang juga. Pemerintah militer Myanmar membebaskan Aung San Suu Kyi dari periode ketiga penahanan yang telah dijalaninya selama tujuh tahun. Sejak tahun 1989, pemerintah junta militer Myanmar memenjarakan perempuan bertubuh mungil ini di rumahnya sendiri dalam 3 kali periode penahanan dan total waktu 15 tahun.
Pembebasannya disambut dengan sukacita oleh rakyat Myanmar dan seluruh pendukung di berbagai negara. Halaman-halaman depan surat kabar di Myanmar dipenuhi oleh foto Suu Kyi. Di berbagai tempat poster Suu Kyi dan ayahnya memenuhi dinding kota. DVD mengenai Aung San Suu Kyi juga dijual di mana-mana. Harapan rakyat akan demokrasi yang dipimpin oleh Suu Kyi kembali membuncah. Myanmar seperti dilanda musim semi. Tak lama setelah pembebasan Suu Kyi, Partai National League Democracy (NLD) yang selama ini menjadi organisasi terlarang mendaftarkan kembali partainya. Publik ramai membicarakan rencana Suu Kyi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Seorang pemimpin partai NLD mengungkapkan pada majalah Newsweek bahwa Suu Kyi juga akan mencalonkan diri sebagai presiden Myanmar pada pemilu tahun 2015.  

Putri Sang Jendral
Aung San Suu Kyi adalah anak ketiga dari seorang pejuang kenamaan Aung San yang turut merancang kemerdekaan Myanmar dari Inggris. Walaupun kemudian ayahnya dibunuh saat ia berusia dua tahun, tapi ibunya, Khin Kyi, yang kemudian juga aktif dalam politik berperan besar dalam membentuk perkembangan Suu Kyi. Ibunya mengirim Suu Kyi ke Oxford, Inggris pada tahun 1969 di mana ia belajar filosofi, politik dan ekonomi. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Oxford, ia kemudian pindah ke New York dan tinggal di sana beberapa tahun sambil bekerja pada badan PBB. Pada masa inilah ia berkenalan dengan suaminya, Michael Aris, seorang sejarawan berkebangsaan Inggris yang mempelajari dan mencintai budaya Tibet. Michael melamar Suu Kyi tak lama setelah mereka berkenalan tetapi Suu Kyi tak langsung menerima lamaran dari laki-laki tersebut. Baru tiga tahun kemudian setelah Michael melamarnya kembali, Suu Kyi setuju. Seperti yang ditulis oleh Rebecca Frayn penulis naskah film The Lady-sebuah film yang bercerita mengenai kisah Aung San Suu Kyi, pada saat menerima lamaran Michael, Suu Kyi mengajukan satu syarat: jika suatu saat rakyatnya membutuhkannya di Myanmar, Michael harus mendukungnya untuk memenuhi kewajibannya terhadap rakyat Myanmar. Michael menyetujui syarat tersebut. Mereka kemudian menikah pada tahun 1972. Pernikahan ini kemudian dikarunia dua anak laki-laki, Alexander Aris dan Kim Aris.

Aung San Suu Kyi kecil (dalam gendongan) bersama orangtua dan kedua kakaknya.

Awal dari Perjuangan
Setelah 16 tahun hidup di Inggris dan menjalani hidupnya sebagai istri dan ibu yang penuh pengabdian, pada suatu malam di tahun 1988 ia mendapat telepon dari Myanmar yang mengabarkan bahwa ibunya dirawat di rumah sakit. Tanpa ragu-ragu, Suu Kyi langsung mengemasi barang-barangnya, bersiap-siap untuk pulang ke Myanmar untuk merawat ibunya. Rencana untuk hanya tinggal beberapa minggu saja di kampung halamannya tersebut ternyata berujung hingga 21 tahun. Ia tak pernah kembali ke pelukan suami dan anak-anaknya dan kenyamanan hidup kota Oxford.
Suu Kyi sampai di Rangoon, ibukota Myanmar (sekarang bernama Yangon) saat suasana politik di sana sedang memanas. Menyandang nama ayahnya Aung San yang legendaris dan dijuluki the father of modern-day Burma, Suu Kyi langsung didaulat untuk memimpin gerakan di Myanmar melawan rezim militer. Rakyat mengira kepulangannya ke Myanmar adalah sebagai reaksi terhadap situasi politik yang memanas. Ibu rumah tangga yang sehari-harinya bekerja mengurus suami dan anak-anaknya tersebut berubah menjadi pemimpin gerakan melawan rezim militer yang disebut-sebut sebagai salah satu rezim yang paling kejam di dunia.
Di tengah-tengah gejolak politik tersebut, Suu Kyi terpilih menjadi pemimpin partai NLD, partai oposisi pemerintah. Pada Juli 1989, seiring pergerakan mendukung demokrasi semakin meningkat, pemerintah militer Myanmar merasa semakin terancam. Mereka menembaki rakyat sipil yang melakukan protes. Banyak aktivis yang dibunuh dan ditahan. Suu Kyi sebagai pemimpin gerakan yang didaulat rakyat pun ikut ditahan. Itulah awal tahun-tahun panjang yang dilewati Suu Kyi sebagai tahanan politik.
Di tahun 1990, pemerintah militer Myamar menggelar pemilihan umum. Rakyat yang terlanjur mencintai Suu Kyi memberikan dukungan yang besar kepadanya walaupun ia berada dalam tahanan. NLD kemudian memenangi pemilu tersebut dengan perolehan suara 58% yang memberi mereka 82 % kursi di parlemen. Kemenangannya di pemilu ini juga mengukuhkan Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin sah negara Myanmar. Pemerintah militer menolak mengakui kemenangan Suu Kyi dan partainya dan malah menjadikan ia sebagai tahanan.

Pilihan antara keluarga dan rakyat
Sejak menjalani statusnya sebagai tahanan rumah, ia terpisah dari suami dan kedua putranya. Saat ia berangkat ke Myanmar di tahun 1988, putra pertamanya Alexander berusia 15 tahun dan Kim, putra kedua berusia 11 tahun. Selama kurun waktu dua dekade penahanannya tersebut, ia hanya memiliki kesempatan lima kali bertemu suaminya. Bahkan ketika Michael didiagnosa kanker prostat stadium akhir ditahun 1997 hingga meninggal di tahun 1999, mereka tetap tak memiliki kesempatan untuk menghabiskan hari-hari terakhir bersama. Menurut Suu Kyi, mereka hanya sempat berbicara melalui telepon beberapa hari sebelum suaminya meninggal.
Sebenarnya ia diberi kesempatan untuk menemui suaminya, namun kesempatan ini menjadi dilema yang besar bagi Suu Kyi. Ia hanya diperbolehkan untuk menemui suaminya di Inggris namun pemerintah Myanmar tak memberikan visa bagi Michael agar bisa menemui Suu Kyi di Myanmar. Pada akhirnya, Suu Kyi memilih tinggal di Myanmar sebab ia yakin jika ia keluar dari Myanmar ia tak akan diperbolehkan lagi masuk ke negaranya tersebut. Tak hanya pada saat suaminya sakit, kesempatan ini juga sudah diberikan kepada Suu Kyi selama bertahun-tahun dalam masa tahanan, namun ia tak pernah mengambilnya. Ia ingin tetap berada di Myanmar, berada di dekat rakyat pendukungnya meskipun harus berada jauh dari keluarganya.
Banyak orang mempertanyakan keputusan Suu Kyi ini, apalagi saat suaminya divonis kanker stadium tinggi dan tak akan bertahan lama.  Namun Suu Kyi telah bersikukuh dengan keputusannya untuk tinggal di Myanmar. “Saya telah membuat keputusan dan suami saya mengerti keputusan ini sejak awal perjuangan saya. Dia juga mendukung keputusan saya sampai akhir hidupnya,” jelas Suu Kyi dalam sebuah wawancara dengan BBC News beberapa waktu setelah pembebasannya.

Suu Kyi bersama suami, Michael Aris di awal pernikahan mereka

Inspirasi Dunia
Perjuangan Suu Kyi yang inspiratif dan penuh keteguhan membuat panitia penghargaan Nobel memilihnya sebagai salah satu penerima nobel perdamaian 1991. Statusnya sebagai pemenang nobel dan dukungan yang luas dari pemimpin-pemimpin negara kuat seperti Amerika Serikat serta permintaan dari tokoh dunia seperti Dalai Lama dan Paus Vatikan tetap tak membuat pemerintah Myanmar bergeming. Bahkan tekanan dari badan PBB pun tak mampu mengeluarkan Suu Kyi dari tahanan pemerintah Myanmar.
Meskipun ia terkurung dalam rumah, Suu Kyi tak pernah berhenti menginspirasi rakyatnya. Perjuangan rakyat Myanmar terus berkobar begitupun dukungan internasional. Menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai orang terkurung, Suu Kyi tak pernah terlihat putus asa dan kehilangan harapan. Ketika memiliki kesempatan untuk tampil di depan publik, wajahnya selalu memancarkan ketenangan dengan senyum yang penuh damai. Karena itu, rakyat Myanmar pendukung Suu Kyi memanggilnya ibu atau ‘Daw’ dalam bahasa Myanmar.
Ia terus mengingatkan pendukungnya untuk tidak pernah berhenti berharap. “No matter the regime’s physical power, in the end, they can’t stop us the people. We shall have our time,” seperti yang diucapkannya pada seorang wartawan Inggris.

Menjalani hari-harinya sebagai tahanan dengan membaca.

Bebas dalam keterbatasan
Menjalani hari-harinya di dalam rumah, Suu Kyi menyibukkan diri dengan membaca buku-buku filosofi, politik dan biografi, terutama mengenai Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela, tokoh-tokoh panutannya. Ia juga sering bermain piano untuk menghabiskan waktu. Orang-orang yang melewati rumahnya kadang mendengar dentingan piano Suu Kyi dari dalam rumah. Ia juga mempraktekkan meditasi secara teratur.
Suu Kyi selalu menegaskan kepada setiap orang yang bertanya bahwa ia sama sekali tidak menderita selama menjalani tahanan rumah. Dalam wawancara yang sama dengan BBC News, ia kembali menegaskan hal tersebut. “Saya telah mengatakan hal ini sebelumnya, tapi saya tidak tahu apakah orang benar-benar percaya dengan apa yang saya katakan. Saya merasa bebas. Meskipun terkurung di rumah, saya sama sekali tidak merasa dibatasi. Saya memiliki buku-buku saya, berada di rumah saya sendiri. Saya bisa mendengar berita dan musik dari radio setiap hari. Hal-hal yang perlu dilakukan di rumah membuat saya sangat sibuk. Jadi saya tidak pernah merasa bahwa saya tidak bebas,” tuturnya.
Ketika ditanya mengenai perpisahannya yang panjang dengan keluarga, Suu Kyi mengatakan bahwa itu memang menyedihkan, tapi ia selalu mengingat bahwa banyak orang yang lebih menderita daripada dia. “Saya tidak merasa bahwa penderitaan saya adalah sesuatu yang besar. Banyak orang-orang lain yang lebih menderita daripada saya. Tentu saya sangat merindukan keluarga, tapi itu tidak saya anggap sebagai sebuah penderitaan. Menurut saya itu mungkin saja terjadi pada setiap orang,” jelasnya.
Seakan menepis semua steorotip mengenai kaumnya, Aung San Suu Kyi membuktikan bahwa seorang perempuan dapat bebas menentukan keputusannya sendiri, jika ia memang menginginkannya. Memilih rakyat dan negara di atas keluarganya tidak salah lagi adalah salah satu keputusan terberat dalam hidupnya, namun ia telah memilih. “Itu merupakan keputusan yang sulit dan menyedihkan, tapi itulah pilihan saya dan saya pikir itu adalah keputusan yang benar,” ungkapnya.
Kini setahun sudah ia mengecap udara bebas di luar rumah. Di usianya ke-66 tahun, ia siap melanjutkan perjuangan untuk membuat perubahan di negaranya. Ia kembali berkumpul bersama anak-anaknya meski tak bisa lagi bertemu suami tercinta. Ia mulai aktif melakukan kampanye meski mengaku masih gugup menggunakan handphone. Pada akhirnya, kisah Aung San Suu Kyi lebih dari sekedar kisah perempuan yang mengorbankan kepentingan pribadi demi rakyat banyak, namun juga kisah mengenai perjuangan menegakkan demokrasi dan kemerdekaan. Freedom from fear, as she always says. 

*Terbit di Majalah Marie Claire Indonesia edisi Januari 2012





Monday, January 9, 2012

A taste from the past

Bandung has been one of the major tourism and holiday destination since the Dutch colonial era. It was well known for its mild climate, breathtaking view, atmosphere resemblance of European city, especially Paris (that’s why Bandung was nicknamed Parijs van Java or Paris of Java by the Dutch), and its elite restaurant Maison Bogerijen.  

During the colonial time, Maison Bogerijen was one of the most prominent eatery in Bandung. It was located in the middle of the avenue of Braga. This restaurant was built in the early 1920s by the family of Bogerijen. For the white population in Bandung (which was quite big at that time), Maison Bogerijen was their primary place to savor the fine European cuisine. It was famous for its royal menu such as Koningin Emma Taart (Queen Emma Cake) and Koningin Wilhelmina Taart (Queen Wilhelmina Cake).

Today, not much of classic European ambiance left since Bandung is growing into a big modern city and the remnants of colonial period are abandoned. Nevertheless, it remains one of the major tourism destination in Indonesia. Bandung now is famous for its apparel products, home for notable universities, and a great place for a serious eater.

A gastronomic adventure may go to the numerous new restaurants in Dago area that offer a selection of good and unique food. But for those who has passion to taste the old colonial recipe and to breath the atmosphere of colonial heritage, Maison Bogerijen is still there, in Braga Street. Only the name is no longer Maison Bogerijen, it has transformed into Braga Permai.

Not only the name has changed, but also had the shape of the building. A lot of renovation has been made since 1960s, so that today we cannot see the original shape of the construction anymore.
The good thing is that they still keep the terrace area where they set out tables and chairs with umbrellas. It somehow gives the customer a sense of european style restaurant as they can enjoy their food while watching people pass by the busy street of Braga.

One Sunday evening, few weeks ago, I decided to invite some friends from Belgium to sample the food of this restaurant. To my surprise, the terrace was quite occupied and so were some tables inside the restaurant. I still remember last year one afternoon when I decided to stop by at this place for a glass of ice cream and coffee, I was the only customer during at least two hours.

“The business is getting better now, more and more customer come,” one of the waiter told me. It turned out that some change has been made. Larger portion on the dishes and almost fifty percent price cutting. I couldn’t agree more with their new strategy.
Looking back how this restaurant developed the past few years, I was worry that they would shut. The restaurant has lost its fame. But that afternoon, I was delightful to see more people coming as if I was the owner.

The dining area inside the restaurant is looked much formal than the terrace. The tables and chairs are set out neatly but the style is unattractive. White furniture with red napkin and blue table cloth dominate the decoration of the restaurant.
The staff were very helpful and friendly. The duty manager of the restaurant, Edi Rukaedi, 51, who has been working there for 30 years, told that they has made some modification to the menu to adapt with the Indonesian tongue. But in order to attract foreign tourist who come to Braga street to see and feel the atmosphere of the colonial era, they still keep some original menu from the first owner.
However, they fail to enhance one’s memories of the past with the choosen furniture and decoration. Only the pictures of old Maison Bogerijen-hung on the wall can remind people of the glorious of this restaurant in the past.

Beside western food, they also serve Indonesian and chinese cuisine. As I wanted to savor the historical cuisine of Braga Permai, the waiter recommended their Braga Beef Steak. But before that, we were served a plate of Bitterballen. Bitterballen is a Dutch meat-based snack, mainly containing a mixture of beef (minced or chopped), flour, parsley and pepper. Edi said the recipe is descended from the first owner.
After the tasty Bitterballen, I had my beef steak. It was not as interesting as I expected, but the flesh was tender and I love its delicious curry taste sauce. But the side dishes-salad and french fries were not really appetizing. The selection of western food are including Filet Mignon, a pan fried tenderloin beef served with potato puree and garlic sauce and Lamb Shank-oven roasted and grill lamb shank served with grill vegetable.
My friends opted for oriental menus which satisfied their European tongue. They took Stir Fried Shrimp with vegetable, Duckling with Champignon Sauce and Sweet and Sour Shrimp.
But actually, what makes Braga Permai gained fame and still up to now is their patisserie (bakery) and ice cream. Some 27 different taste of ice cream are available in this restaurant.
I tried one called Winer Melange, a mix of coffee, vanilla ice cream and whip cream. My friend tried their strawberry vanilla ice cream. She really loved their big fresh strawberries on the glass.
Its patisserie offers a various selection of bread and cake and we still can find some with the Dutch name such as Botter Staff, Ontbijtkoek and Bokkepootjes.
Ontbitjkoek, for instance, is a breakfast cake in Holland. This cake has a unique taste because it is spiced with cloves, cinnamon, nutmeg or known for Indonesian as bumbu spekoek or only spekoek for Dutch.

If one comes to Braga Permai with the excitement to feel an ambiance of classic era atmosphere as if go to Batavia CafĂ© in Jakarta, he or she might likely be disappointed. But just to remember the history of this restaurant has with the legendary Braga Street plus a reasonable price, maybe it’s still worth to try.

A photo of old Braga Permai
*Written in 2010