Thursday, November 1, 2012

THE PERSONAL IS POLITICAL

Yenny Wahid adalah salah satu tokoh perempuan yang saya ingin wawancara sejak lama. Akhirnya kesempatan itu datang juga beberapa bulan lalu. Dan kabar baiknya lagi, wawancara saya lakukan di rumahnya yang  bersahaja. Saya dan kru dari Marie Claire berkesempatan memotret ia dan putrinya Malika serta memotret berbagai sudut rumah dan barang-barang kesayangannya. Berikut ini adalah hasil wawancara tersebut yang terbit di Majalah Marie Claire Indonesia edisi Mei 2012 dengan fotografer Pandji Indra, Stylist Asri Puspitasari dan Makeup Artist Andre.

 THE PERSONAL IS POLITICAL

 




Memiliki posisi puncak dalam partai politik yang didominasi ulama, menantang bahaya sebagai reporter di daerah konflik, serta menjadi staf khusus presiden pernah dijalaninya. Sekarang ia telah menjadi ibu, dan memimpin sebuah partai baru, namun caranya berpolitik tak lagi sama. Ia melihat politik dari sisi seorang perempuan yang mencintai anaknya: sesuatu yang lebih personal.

Bendera merah putih yang berkibar di atas pagar kayu tinggi sebuah rumah di Jalan Gaharu No 35F, Cipete, Jakarta Selatan entah bagaimana meyakinkan saya bahwa itu memang rumah seorang putri mantan presiden Republik Indonesia. Rumah itu tidak terletak di pemukiman mewah dan dari luar juga tampak sederhana. Dari pintu gerbang, gang singkat yang teduh dengan tumbuhan rumput menjalar di sisi kiri kanan membawa saya ke sebuah rumah bercat putih yang cukup besar dengan pintu yang terbuka lebar. Memasuki rumah tersebut, saya langsung disambut beberapa patung Gus Dur, mantan presiden Indonesia ke-4. Setelah menunggu beberapa saat, Yenny Wahid, putri kedua KH. Abdurrahman Wahid itu keluar dari kamarnya. “Maaf ya, menunggu agak lama, saya tadi sholat dulu,” sapa Yenny sambil membetulkan letak kerudungnya. Putrinya, Malika Aurora Madhura terlihat asik bermain di dekat Yenny.
Setelah Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) yang dipimpinnya dinyatakan tidak lolos verifikasi Pemilu 2014, Yenny sibuk dengan urusan untuk memperjuangkan partainya tersebut agar bisa berpartisipasi dalam pemilihan umum dua tahun mendatang. Namun tidak peduli betapa ketegangan dunia politik menyita sebagian besar waktunya, perempuan dengan nama lengkap Zannuba Ariffa Chafson Rahman Wahid ini mengaku tetap menempatkan keluarga sebagai prioritas nomor satu dalam hidupnya. Walaupun tak lagi hobi hang out atau berbelanja bersama teman-temannya, Yenny sangat menikmati waktunya bersama Malika dan menjadi orang rumahan seperti suaminya Dhohir Farisi yang ia nikahi pada 2009 lalu.
Anda saat ini sedang dalam masa awal kehamilan, mengurus anak yang berusia 1,5 tahun serta berjuang untuk meloloskan partai Anda untuk ikut Pemilu 2014. Bagaimana Anda menjalankan itu semua?
Sebetulnya saya banyak kegiatan di luar, tapi yang bisa saya lakukan di rumah ya saya pilih begitu supaya bisa menghabiskan waktu bersama Malika dulu dan karena masih di masa awal kehamilan, saya masih sering mual apalagi kalau naik mobil. Mengenai perjuangan meloloskan PKBN untuk bisa berpartisipasi dalam Pemilu 2014, saat ini kami sedang melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah dengan melakukan proses pembicaraan dengan partai-partai lain, karena ada banyak partai lain yang tertarik untuk bergabung dengan kami
Malika baru berusia 1,5 tahun tapi Anda sudah hamil anak kedua, apakah memang program Anda  dan suami untuk punya anak secepatnya?
Sebenarnya bukan diprogramkan juga. Tapi saya berpikir untuk tidak menunda kehamilan karena mengingat umur saya juga. Jadi, ya cepat-cepat saja.
Apakah ada perbedaan Anda dalam memandang politik atau berpolitik itu sendiri sebelum dan sesudah menjadi Ibu?
Bagi saya, politik itu adalah alat untuk membuat perubahan yang positif. Singkatnya, saya menggunakan politik untuk membuat perubahan yang lebih baik untuk masyarakat. Nah, sekarang setelah saya menjadi ibu, politik bagi saya dimensinya menjadi lebih dalam lagi. Kalau dulu lebih untuk sekedar aktualisasi diri dan cara untuk mengekspresikan pemikiran, sekarang saya menjadikan politik sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dan tujuan saya adalah membuat perubahan yang berarti bagi generasi mendatang terutama bagi anak-anak kita sendiri. Saya ingin kehidupan anak saya lebih baik dari kehidupan saya. Saya ingin ia hidup dalam negara dengan udara yang lebih baik, kualitas air lebih baik, dan sistem transportasi yang lebih bagus. Walaupun semua itu berangkat dari rasa cinta terhadap anak saya, namun hal-hal seperti itu kan memang menjadi bidang pembahasan di level politik semua. Jadi semua itu akhirnya menjadi sesuatu yang personal sekarang. Itu perubahan besarnya.
Lalu dalam kehidupan Anda sendiri, bagaimana perubahan dari masa lalu ketika Anda masih lajang dan sekarang setelah menjadi istri dan ibu?
Banyak sekali. Sekarang sepertinya jalan hidup saya lebih santai dan prioritas utama adalah keluarga. Waktu saya lebih banyak saya gunakan untuk anak dan suami. Suami saya tipenya orang rumahan dan ia mengajarkan saya menjadi orang yang sangat rileks. Sebelum menikah, kegiatan saya sangat intens, sering menantang bahaya saat liputan karena banyak meliput di daerah konflik. Kalau sekarang sepertinya banyak di rumah. Dulu, setiap ada waktu luang pasti jalan keluar dengan teman-teman saya.  Sekarang kalau jalan, ya sama keluarga, walaupun sebenarnya kami jarang keluar rumah.
Sebelum mendirikan PKBN, dulu Anda menjadi Sekjen di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang anggota atau pengurusnya didominasi oleh laki-laki dan ulama. Bagaimana Anda bisa diterima menjadi pemimpin di partai dengan karakter seperti itu?
Pada awalnya, tantangannya sangat berat dan perlu pembuktian. Artinya saya tidak boleh cengeng. Saya harus aktif dan bekerja keras. Saya rajin turun ke lapangan untuk bertemu dengan konstituen. Waktu saya benar-benar tersita dan setiap akhir pekan saya pasti harus melakukan perjalanan kemana-mana untuk berbagai urusan. Kalau saya harus mengunjungi daerah yang terkena banjir, ya harus siap dengan keadaan tersebut, termasuk melakukan perjalanan darat selama 7-8 jam hingga dua malam. Selama bulan puasa saya harus keliling kemana-mana. Jadi mereka juga melihat ternyata saya memang serius, punya komitmen dan mau kerja. Jadi pembuktiannya memang dengan aktif bekerja.
Apakah saat Anda mendampingi Gus Dur dalam tugas kepresidenan maupun dalam kegiatan politik ia sudah menyiapkan Anda untuk terjun ke dunia politik dan katakanlah sebagai penerus dia?
Saya tidak tahu karena beliau tidak pernah mengatakan hal tersebut secara langsung. Tapi yang jelas Gus Dur adalah orang yang sangat demokratis dan tidak menyukai segala sesuatu yang berbentuk KKN. Waktu saya ikut pemilihan menjadi Sekjen PBB beliau tidak ikut memilih dan menyalonkan saya dan malah mendukung calon lain karena tidak mau dianggap KKN. Pada akhirnya memang saya yang terpilih, dan beliau bisa dengan bangga mengatakan bahwa anaknya terpilih bukan karena pengaruhnya. Dan untuk itu, saya sangat berterima kasih pada Bapak yang telah memberikan pembekalan hidup pada kami sehingga tidak tergantung pada orangtua untuk bisa sukses dalam hidup. Namun mungkin Bapak melakukannya dengan cara lain. Seringkali saat saya mendampinginya, beliau hanya berpidato lima menit kemudian berkata bahwa saya yang akan melanjutkan pidato tersebut, begitu terus berkali-kali. Selain itu, Bapak juga seringkali menyuruh saya menyelesaikan persoalan berat yang dihadapi partai. Waktu itu saya sih tidak kepikiran apa-apa, saya pikir memang karena beliau capek atau karena alasan lain. Tapi setelah beliau pergi, saya mulai berpikir, jangan-jangan itu caranya Bapak untuk nyiapin saya.
Anda dulu belajar desain komunikasi visual di universitas, bekerja sebagai reporter, kemudian belajar ilmu pemerintahan di Amerika Serikat dan akhirnya terjun ke dunia politik. Sebenarnya apa passion Anda?
Sebetulnya saya senang menggambar karena itu saya ingin kuliah di Jurusan Seni Rupa ITB namun tidak lulus. Akhirnya atas anjuran Bapak, saya kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Trisakti. Saat hampir lulus kuliah sembari menunggu waktu wisuda, saya iseng melamar di surat kabar Sidney Morning Herald dan ternyata diterima. Ya sudah, lupa desain grafisnya. Tak lama setelah itu, Bapak terpilih jadi presiden, akhirnya pekerjaan saya sebagai jurnalis saya tinggalkan untuk mendampingi beliau.
Sekarang masih senang menggambar untuk menyalurkan kreativitas Anda?
Masih. Dulu saya suka menggambar sketsa orang, apalagi waktu mendampingi Bapak saat pertemuan-pertemuan kepala negara. Untuk mengusir kebosanan di sela-sela pertemuan dan pidato yang panjang, saya menggambar sketsa wajah pejabat-pejabat yang ditemui Bapak, seperti Jacques Chirac atau Hugo Chavez. Kalau sekarang saya banyak menggambar anak saya.

Yenny dan putrinya Malika
 Pernahkah ada keraguan dalam diri Anda sebelum terjun total ke dunia politik?
Ada. Butuh waktu tiga tahun bagi saya sebenarnya untuk memantapkan hati terjun ke dunia politik secara total. Sebenarnya waktu mendampingi Gus Dur pun belum pernah terpikir untuk masuk dunia politik, saat itu saya mendampingi beliau dalam posisi saya sebagai anak saja.
Bagaimana Yenny Wahid kecil?
Kata Ibu saya, saya anaknya cengeng terus kemudian cenderung tidak terlalu….Hmm sebenarnya saya biasa banget, tidak terlalu menonjol, berantakan. Tapi masa kecil itu buat saya adalah masa yang membahagiakan. Dulu waktu kami masih tinggal di Ciganjur, jalan di dekat rumah belum diaspal, jadi masih jalan tanah liat sehingga kalau hujan sepatu kami harus dibungkus dengan plastik supaya tidak kena becek. Siang hari biasanya saya main kasti bersama teman-teman. Karena belum mampu beli bola, kami membuat bola yang terbuat dari koran yang digumpal-gumpal dan diikat dengan karet. Kemudian listrik juga belum ada di jalan. Tapi bagi saya itu adalah masa yang sangat membahagiakan. Dengan teman-teman saya pergi mencari kecapi, menunggu duren jatuh. Jadi anak kampung banget lah.
Apakah Anda dan suami adalah tim yang kompak? Dalam mendidik anak, pandangan politik dan hal-hal lainnya?
Kami saling mendukung sekali. Dia orangnya tidak ngoyo, santai, sehingga saya juga terpengaruh oleh dia untuk menjalani hidup lebih rileks. Kami sering sekali mendiskusikan banyak hal dan kalaupun ada perbedaan kami bicara saja.
Suami Anda tidak terintimidasi dengan kiprah dan posisi Anda di partai politik?
Nah, dalam hal ini saya merasa beruntung karena suami saya berasal dari keluarga yang memiliki figur perempuan aktif dan a strong woman yaitu Ibunya. Jadi sama saja, buat dia tidak ada masalah jika istrinya lebih aktif.
Apakah ia sesuai dengan gambaran laki-laki yang Anda idamkan sebelum Anda menikah?
Sembilan puluh sembilan persen deh….(tertawa)
Suami seperti apakah dia?
Seorang family man.
Apakah ada visi Anda di masa depan untuk menjadi RI 1?
Saya tidak memikirkan hal itu, mengenai kedudukan. Saya berpikir dengan posisi saya sekarang, saya harus memberikan kontribusi yang positif pada masyarakat.

Foto pernikahannya.


Ia juga penggemar fashion




 



Sunday, April 15, 2012

Dunia Lola


Tak seperti karya-karya filmnya yang semakin dikenal, banyak yang tidak begitu mengetahui kehidupan Lola Amaria. Melalui sesi foto dan wawancara selama tiga jam, ia memberi celah pada Marie Claire untuk masuk lebih dalam ke dunianya yang sederhana namun penuh makna.

Photograph by Hakim Satriyo


Kesan pertama bertemu Lola Amaria adalah kedisiplinannya. Ia datang tepat waktu sesuai janji yang kami sepakati untuk bertemu pukul 11 pada suatu siang yang mendung di bulan Januari. Ia bahkan datang lebih awal ke lokasi pemotretan. Lola menyambut kami dengan sapaan akrab walaupun sudah menuggu setengah jam. Mengenakan kemeja warna fuschia dipadu denim hitam dan sepatu keds, Lola tampak santai.

Ia langsung memperlihatkan berbagai barang yang memiliki arti penting baginya maupun barang-barang favorit seperti sepatu Adidas yang hampir berubah warna menjadi kecoklatan dari warna asli putih karena terlalu sering dipakai. “Sepatu ini telah mengikuti saya ke mana-mana, sampai ke Cina dan New York dan saya pakai dalam berbagai kesempatan mulai dari hang out dengan teman-teman, riset ke berbagai daerah dan selama proses syuting.” Walau diprotes sahabat dekat sekaligus manajernya Dimas agar tak memakai sepatu itu lagi, ia bersikeras untuk tetap mengenakannya. “Sepatu ini kan limited edition, jadi sudah tidak ada lagi di pasaran, padahal saya suka sekali. Kalau nanti keluar lagi, saya akan beli dengan model dan warna yang sama,”ceritanya.

Bersama-sama kami membongkar tasnya, mencoba menggali siapa sebenarnya Lola Amaria. Ia memperlihatkan batik kesayangannya yang didapatnya dari pebatik terkenal Go Tik Swan. Lola mendapat kesempatan membeli koleksi batik tersebut saat mengadakan riset untuk film dokumenter mengenai pebatik favorit mantan Presiden Soekarno itu. CD yang berisi lagu-lagu Serge Gainsbourg dan Jane Birkin dengan hits mereka “Je T’aime…Moi Non Plus” menjadi favorit Lola. Beberapa buku karya Paulo Coelho, Ayu Utami, Pramoedya Ananta Toer juga diperlihatkannya, serta beberapa film favoritnya. Tak lupa sebuah tas Yves Saint Laurent warna putih juga ia bawa, sebuah hadiah dari seorang sutradara asal Taiwan.

Benda-benda tersebut, hanya sebagian dari dunia sekitar Lola. Meski kami berharap dapat bertemu di rumahnya, memasuki dunia Lola yang sesungguhnya, ia memilih untuk bertemu di luar. Mungkin ia ingin tetap menjaga rumahnya sebagai ruang privat, dunia yang hanya bisa dinikmati oleh ia dan orang-orang dekatnya.

 Apa saja kegiatan Anda saat ini?

Saat ini saya sedang mengerjakan omnibus Sanubari Jakarta, proyek sepuluh film pendek tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di Indonesia. Saya bertindak sebagai produser dan ikut menyutradarai satu film tentang biseksual.

Seperti dalam film Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP) yang juga menyorot kehidupan lesbian, mengapa Anda tertarik untuk mengangkat isu LGBT ini?

Secara pribadi, saya tertarik dengan isu ini karena saya banyak memiliki teman yang  merupakan LGBT juga. Selain itu, LGBT adalah realita sosial. Saya dan para pembuat film dalam omnibus ini ingin menekankan pada penonton bahwa kehidupan LGBT ini tidak hanya ada di negara-negara besar, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Sebenarnya film ini bersifat edukasi supaya masyarakat lebih tahu mengenai keberadaan LGBT. Sedangkan isu lesbian diangkat di film MPdVP karena memang begitu pula realita yang ada di sana.

Film-film Anda juga menunjukkan kepedulian terhadap masalah perempuan, bagaimana awal ketertarikan Anda  dengan persoalan perempuan?

Sebenarnya itu terjadi begitu saja tanpa saya sadari. Saya baru sadar setelah banyak orang bertanya mengapa saya tertarik dengan permasalahan perempuan. Mungkin alasan tepatnya adalah karena saya perempuan mungkin ya? Jadi saya lebih dekat dengan masalah yang perempuan alami.

Bagaimana Anda melihat hubungan antara perempuan dan laki-laki?
Bagi saya laki-laki dan perempuan itu tidak ada bedanya. Apapun yang menjadi hak laki-laki juga menjadi hak perempuan. Apapun yang menjadi kewajiban laki-laki menjadi kewajiban perempuan juga. Artinya, segala sesuatu harus seimbang, tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah. Karena jika keduanya memposisikan diri seimbang, tahu batasan dan porsi masing-masing, maka kasus-kasus pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan tidak akan terjadi.

Apakah keluarga mempengaruhi cara Anda menjalani hidup saat ini?
Ya, Papa saya galak dan keras terhadap anak-anaknya. Jadi didikan keras itu terbawa sampai sekarang. Saya dan semua saudara dididik untuk mandiri dan dibiasakan untuk tidak tergantung pada orang lain. Kalau tidak terpaksa sekali, jangan minta tolong. Kami juga tumbuh dengan disiplin yang kuat. Bangun tidur, semua harus membereskan tempat tidur sendiri; baju kotor ditaruh di keranjang, jangan sampai berceceran; selesai makan, cuci piring sendiri. Dulu saya sering kesal menjalani disiplin seperti itu. Tapi saya merasakan manfaatnya sekarang ketika saya sudah dewasa, saya menjadi pribadi yang mandiri dan tidak mudah tergantung pada orang lain.

Anda tumbuh dalam keluarga besar (9 bersaudara), apakah Anda dekat dengan saudara-saudara Anda?
Walau tumbuh dalam keluarga besar, kami bersaudara sangat dekat satu sama lain. Setiap bulan saya pasti menyediakan waktu bertemu keluarga. Entah makan siang bersama, atau memang ada acara khusus, atau memang sekedar berkumpul bersama. Jadi, sebenarnya saya adalah family person.

Siapa inspirasi Anda dalam berkarya?
Ada banyak. Untuk sutradara saya suka sekali dengan Zhang Yimou, Teguh Karya, dan Syuman Jaya. Kalau untuk buku saya suka Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma dan Ayu Utami. Mereka itu orang-orang yang patut dihormati karena pemikiran mereka bisa mempengaruhi pemikiran kita juga. Saya senang menonton film dan musik tertentu, tapi bukan berarti saya harus berkarya seperti orang-orang tersebut. Saya tetap harus menjadi diri sendiri. Film-film yang saya tonton itu menjadi referensi saja dalam berkarya.

Film yang sangat berkesan bagi Anda?
The Three Colours Trilogy dari sutradara Polandia Krzysztof KieÅ›lowski, The Piano yang dibintangi oleh Holly Hunter dan film-film dari Zhang Yimou. Saya suka semua film-film Yimou karena ia sepertinya sangat mendalami dunia perempuan.  Dulu saya berpikir bahwa dia adalah seorang perempuan padahal ternyata dia adalah laki-laki. 

Anda seperti memiliki ketertarikan khusus dengan kultur Cina, apakah memang begitu?
Iya. Saya sangat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan budaya Cina dan menurut saya banyak sekali hal menarik dalam kebudayaan tersebut. Jika ada pepatah yang mengatakan tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina, saya rasa itu banyak benarnya. Ketika kita datang ke negeri tersebut kita akan belajar betapa kayanya budaya negeri itu.

Banyak orang menggambarkan Anda sebagai seseorang yang dingin, tidak ramah, bahkan pemalu, apakah benar?
(Tertawa) Saya tidak tahu bahwa pandangan orang-orang bisa seberagam itu terhadap saya. Tapi pandangan itu kan datang dari berbagai orang, mulai dari yang sudah sangat kenal saya, baru kenal, bahkan tidak kenal sama sekali. Jadi sah-sah saja jika orang berpandangan seperti itu.

Bagaimana Anda menggambarkan diri sendiri?
Wah jangan tanya saya, coba tanya manajer dan sahabat saya yang mengenal saya dengan baik. 

Tapi bisa saja pendapat dia berbeda dengan apa yang Anda pikirkan tentang diri Anda sendiri…
Hmm…sebenarnya saya ini orang yang lucu (tertawa terbahak). Saya juga seorang yang disiplin; cerewet dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, tapi tidak dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga suka masak, tapi belum jago seperti chef yang ada di televisi itu. Saya senang masak untuk orang lain, jadi kadang saya mengundang teman-teman untuk makan bersama. Kalau masak sendiri tidak seru ya. 

Apa yang sangat berbeda dengan Anda yang sekarang dan saat berusia 20-an?
Satu hal yang paling berubah adalah bagaimana saya memandang kecantikan. Dulu mungkin cantik itu misalnya berarti putih dan tinggi. Setelah saya menjadi finalis Wajah Femina 1997, saya banyak belajar memandang cantik itu dari sisi lain. Kecantikan bisa datang dari kepribadian kita, dari cara berpikir.
Perubahan besar dalam hidup saya sebenarnya tidak terlalu signifikan. Sekarang saya sangat  mengutamakan kenyamanan dalam bekerja, jadi uang bukan lagi orientasi utama. Ketika menerima suatu pekerjaan, saya harus merasa nyaman dulu dengan pekerjaan tersebut, baru saya ambil, meski tidak memberikan pendapatan yang besar. Makin ke sini, bekerja itu semakin pakai hati.

Apa yang membuat Anda bahagia?
Saat saya bisa bangun siang, tidak dikejar deadline, punya waktu libur panjang di mana saya tidak harus mengerjakan apa-apa dan tidak ada handphone atau laptop di sekitar saya.

Spot liburan favorit?
Bali. Di sana ada tempat healing bagus di mana saya bisa melakukan yoga dan meditasi. Selain itu, saya juga senang berenang di laut, menyepi ke pegunungan, atau hanya sekedar duduk di pantai di sore hari. Kegiatan-kegiatan seperti itu bisa membantu saya sebagai stress management.

Apa pencapaian terbesar Anda hingga saat ini?
Sebenarnya saya tidak berpikir bahwa saya telah memiliki pencapaian terbesar dalam hidup. Jika saya meraih sesuatu yang besar, saya selalu kembali ke titik nol agar tidak menjadi sombong. Artinya segala pencapaian yang orang hargai dan hormati itu jangan terlalu dibesar-besarkan. Prinsip saya, dipuji tidak boleh sombong, dikritik tidak boleh marah. Jadi saat orang menghargai karya saya, saya bahagia, namun saya tidak mau terlena. Harus kembali lagi ke titik nol, membuat lagi karya yang baru.  Achievement bagi saya adalah saat seseorang bisa mencapai puncak namun bisa kembali ke bawah lagi, tetap down to earth. 

Apa yang Anda takutkan dalam hidup?
(Diam sejenak) Saya takut kalau Mama saya marah. 

Impian Anda ke depan?
Seperti yang saya bilang saya tidak memiliki impian yang muluk-muluk dan tidak memiliki ambisi besar. Tapi saya memiliki sebuah kotak mimpi (sambil memperlihatkan sebuah kotak kecil dari kayu). Saya menulis impian-impian saya di sehelai kertas kemudian saya masukkan ke dalam kotak ini yang selalu saya letakkan di bawah bantal. Tapi jujur saja, saya sudah tak ingat lagi apa saja impian yang saya tulis di kertas itu (sambil tertawa ia membuka kertas impiannya dan memperlihatkan pada marie claire beberapa mimpi-mimpinya itu: bahagia lahir batin dan sehat walafiat, keliling dunia dengan karya, ingin punya rumah sendiri)





Thursday, January 26, 2012

Aung San Suu Kyi: An Endless Battle


Terkurung selama 15 tahun sebagai tahanan rumah tak membuat kharisma Aung San Suu Kyi memudar di mata pendukungnya dan warga dunia. Ia tetap menjadi ikon perjuangan demokrasi bagi rakyat Myanmar dan dunia.



Pada 13 November 2010, sore sekitar pukul 5, Aung San Suu Kyi berjalan mantap melewati pagar rumahnya. Ia melambaikan tangan dan menyalami kerumunan yang menantinya, tak sabar melihat pemimpin mereka keluar dari rumah yang selama ini menjadi penjaranya. Hari yang ditunggu-tunggu selama dua puluh tahun oleh Aung San Suu Kyi, keluarganya, rakyat Myanmar (juga dikenal sebagai Burma) dan sebagian besar warga dunia akhirnya datang juga. Pemerintah militer Myanmar membebaskan Aung San Suu Kyi dari periode ketiga penahanan yang telah dijalaninya selama tujuh tahun. Sejak tahun 1989, pemerintah junta militer Myanmar memenjarakan perempuan bertubuh mungil ini di rumahnya sendiri dalam 3 kali periode penahanan dan total waktu 15 tahun.
Pembebasannya disambut dengan sukacita oleh rakyat Myanmar dan seluruh pendukung di berbagai negara. Halaman-halaman depan surat kabar di Myanmar dipenuhi oleh foto Suu Kyi. Di berbagai tempat poster Suu Kyi dan ayahnya memenuhi dinding kota. DVD mengenai Aung San Suu Kyi juga dijual di mana-mana. Harapan rakyat akan demokrasi yang dipimpin oleh Suu Kyi kembali membuncah. Myanmar seperti dilanda musim semi. Tak lama setelah pembebasan Suu Kyi, Partai National League Democracy (NLD) yang selama ini menjadi organisasi terlarang mendaftarkan kembali partainya. Publik ramai membicarakan rencana Suu Kyi untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Seorang pemimpin partai NLD mengungkapkan pada majalah Newsweek bahwa Suu Kyi juga akan mencalonkan diri sebagai presiden Myanmar pada pemilu tahun 2015.  

Putri Sang Jendral
Aung San Suu Kyi adalah anak ketiga dari seorang pejuang kenamaan Aung San yang turut merancang kemerdekaan Myanmar dari Inggris. Walaupun kemudian ayahnya dibunuh saat ia berusia dua tahun, tapi ibunya, Khin Kyi, yang kemudian juga aktif dalam politik berperan besar dalam membentuk perkembangan Suu Kyi. Ibunya mengirim Suu Kyi ke Oxford, Inggris pada tahun 1969 di mana ia belajar filosofi, politik dan ekonomi. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Oxford, ia kemudian pindah ke New York dan tinggal di sana beberapa tahun sambil bekerja pada badan PBB. Pada masa inilah ia berkenalan dengan suaminya, Michael Aris, seorang sejarawan berkebangsaan Inggris yang mempelajari dan mencintai budaya Tibet. Michael melamar Suu Kyi tak lama setelah mereka berkenalan tetapi Suu Kyi tak langsung menerima lamaran dari laki-laki tersebut. Baru tiga tahun kemudian setelah Michael melamarnya kembali, Suu Kyi setuju. Seperti yang ditulis oleh Rebecca Frayn penulis naskah film The Lady-sebuah film yang bercerita mengenai kisah Aung San Suu Kyi, pada saat menerima lamaran Michael, Suu Kyi mengajukan satu syarat: jika suatu saat rakyatnya membutuhkannya di Myanmar, Michael harus mendukungnya untuk memenuhi kewajibannya terhadap rakyat Myanmar. Michael menyetujui syarat tersebut. Mereka kemudian menikah pada tahun 1972. Pernikahan ini kemudian dikarunia dua anak laki-laki, Alexander Aris dan Kim Aris.

Aung San Suu Kyi kecil (dalam gendongan) bersama orangtua dan kedua kakaknya.

Awal dari Perjuangan
Setelah 16 tahun hidup di Inggris dan menjalani hidupnya sebagai istri dan ibu yang penuh pengabdian, pada suatu malam di tahun 1988 ia mendapat telepon dari Myanmar yang mengabarkan bahwa ibunya dirawat di rumah sakit. Tanpa ragu-ragu, Suu Kyi langsung mengemasi barang-barangnya, bersiap-siap untuk pulang ke Myanmar untuk merawat ibunya. Rencana untuk hanya tinggal beberapa minggu saja di kampung halamannya tersebut ternyata berujung hingga 21 tahun. Ia tak pernah kembali ke pelukan suami dan anak-anaknya dan kenyamanan hidup kota Oxford.
Suu Kyi sampai di Rangoon, ibukota Myanmar (sekarang bernama Yangon) saat suasana politik di sana sedang memanas. Menyandang nama ayahnya Aung San yang legendaris dan dijuluki the father of modern-day Burma, Suu Kyi langsung didaulat untuk memimpin gerakan di Myanmar melawan rezim militer. Rakyat mengira kepulangannya ke Myanmar adalah sebagai reaksi terhadap situasi politik yang memanas. Ibu rumah tangga yang sehari-harinya bekerja mengurus suami dan anak-anaknya tersebut berubah menjadi pemimpin gerakan melawan rezim militer yang disebut-sebut sebagai salah satu rezim yang paling kejam di dunia.
Di tengah-tengah gejolak politik tersebut, Suu Kyi terpilih menjadi pemimpin partai NLD, partai oposisi pemerintah. Pada Juli 1989, seiring pergerakan mendukung demokrasi semakin meningkat, pemerintah militer Myanmar merasa semakin terancam. Mereka menembaki rakyat sipil yang melakukan protes. Banyak aktivis yang dibunuh dan ditahan. Suu Kyi sebagai pemimpin gerakan yang didaulat rakyat pun ikut ditahan. Itulah awal tahun-tahun panjang yang dilewati Suu Kyi sebagai tahanan politik.
Di tahun 1990, pemerintah militer Myamar menggelar pemilihan umum. Rakyat yang terlanjur mencintai Suu Kyi memberikan dukungan yang besar kepadanya walaupun ia berada dalam tahanan. NLD kemudian memenangi pemilu tersebut dengan perolehan suara 58% yang memberi mereka 82 % kursi di parlemen. Kemenangannya di pemilu ini juga mengukuhkan Aung San Suu Kyi sebagai pemimpin sah negara Myanmar. Pemerintah militer menolak mengakui kemenangan Suu Kyi dan partainya dan malah menjadikan ia sebagai tahanan.

Pilihan antara keluarga dan rakyat
Sejak menjalani statusnya sebagai tahanan rumah, ia terpisah dari suami dan kedua putranya. Saat ia berangkat ke Myanmar di tahun 1988, putra pertamanya Alexander berusia 15 tahun dan Kim, putra kedua berusia 11 tahun. Selama kurun waktu dua dekade penahanannya tersebut, ia hanya memiliki kesempatan lima kali bertemu suaminya. Bahkan ketika Michael didiagnosa kanker prostat stadium akhir ditahun 1997 hingga meninggal di tahun 1999, mereka tetap tak memiliki kesempatan untuk menghabiskan hari-hari terakhir bersama. Menurut Suu Kyi, mereka hanya sempat berbicara melalui telepon beberapa hari sebelum suaminya meninggal.
Sebenarnya ia diberi kesempatan untuk menemui suaminya, namun kesempatan ini menjadi dilema yang besar bagi Suu Kyi. Ia hanya diperbolehkan untuk menemui suaminya di Inggris namun pemerintah Myanmar tak memberikan visa bagi Michael agar bisa menemui Suu Kyi di Myanmar. Pada akhirnya, Suu Kyi memilih tinggal di Myanmar sebab ia yakin jika ia keluar dari Myanmar ia tak akan diperbolehkan lagi masuk ke negaranya tersebut. Tak hanya pada saat suaminya sakit, kesempatan ini juga sudah diberikan kepada Suu Kyi selama bertahun-tahun dalam masa tahanan, namun ia tak pernah mengambilnya. Ia ingin tetap berada di Myanmar, berada di dekat rakyat pendukungnya meskipun harus berada jauh dari keluarganya.
Banyak orang mempertanyakan keputusan Suu Kyi ini, apalagi saat suaminya divonis kanker stadium tinggi dan tak akan bertahan lama.  Namun Suu Kyi telah bersikukuh dengan keputusannya untuk tinggal di Myanmar. “Saya telah membuat keputusan dan suami saya mengerti keputusan ini sejak awal perjuangan saya. Dia juga mendukung keputusan saya sampai akhir hidupnya,” jelas Suu Kyi dalam sebuah wawancara dengan BBC News beberapa waktu setelah pembebasannya.

Suu Kyi bersama suami, Michael Aris di awal pernikahan mereka

Inspirasi Dunia
Perjuangan Suu Kyi yang inspiratif dan penuh keteguhan membuat panitia penghargaan Nobel memilihnya sebagai salah satu penerima nobel perdamaian 1991. Statusnya sebagai pemenang nobel dan dukungan yang luas dari pemimpin-pemimpin negara kuat seperti Amerika Serikat serta permintaan dari tokoh dunia seperti Dalai Lama dan Paus Vatikan tetap tak membuat pemerintah Myanmar bergeming. Bahkan tekanan dari badan PBB pun tak mampu mengeluarkan Suu Kyi dari tahanan pemerintah Myanmar.
Meskipun ia terkurung dalam rumah, Suu Kyi tak pernah berhenti menginspirasi rakyatnya. Perjuangan rakyat Myanmar terus berkobar begitupun dukungan internasional. Menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai orang terkurung, Suu Kyi tak pernah terlihat putus asa dan kehilangan harapan. Ketika memiliki kesempatan untuk tampil di depan publik, wajahnya selalu memancarkan ketenangan dengan senyum yang penuh damai. Karena itu, rakyat Myanmar pendukung Suu Kyi memanggilnya ibu atau ‘Daw’ dalam bahasa Myanmar.
Ia terus mengingatkan pendukungnya untuk tidak pernah berhenti berharap. “No matter the regime’s physical power, in the end, they can’t stop us the people. We shall have our time,” seperti yang diucapkannya pada seorang wartawan Inggris.

Menjalani hari-harinya sebagai tahanan dengan membaca.

Bebas dalam keterbatasan
Menjalani hari-harinya di dalam rumah, Suu Kyi menyibukkan diri dengan membaca buku-buku filosofi, politik dan biografi, terutama mengenai Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela, tokoh-tokoh panutannya. Ia juga sering bermain piano untuk menghabiskan waktu. Orang-orang yang melewati rumahnya kadang mendengar dentingan piano Suu Kyi dari dalam rumah. Ia juga mempraktekkan meditasi secara teratur.
Suu Kyi selalu menegaskan kepada setiap orang yang bertanya bahwa ia sama sekali tidak menderita selama menjalani tahanan rumah. Dalam wawancara yang sama dengan BBC News, ia kembali menegaskan hal tersebut. “Saya telah mengatakan hal ini sebelumnya, tapi saya tidak tahu apakah orang benar-benar percaya dengan apa yang saya katakan. Saya merasa bebas. Meskipun terkurung di rumah, saya sama sekali tidak merasa dibatasi. Saya memiliki buku-buku saya, berada di rumah saya sendiri. Saya bisa mendengar berita dan musik dari radio setiap hari. Hal-hal yang perlu dilakukan di rumah membuat saya sangat sibuk. Jadi saya tidak pernah merasa bahwa saya tidak bebas,” tuturnya.
Ketika ditanya mengenai perpisahannya yang panjang dengan keluarga, Suu Kyi mengatakan bahwa itu memang menyedihkan, tapi ia selalu mengingat bahwa banyak orang yang lebih menderita daripada dia. “Saya tidak merasa bahwa penderitaan saya adalah sesuatu yang besar. Banyak orang-orang lain yang lebih menderita daripada saya. Tentu saya sangat merindukan keluarga, tapi itu tidak saya anggap sebagai sebuah penderitaan. Menurut saya itu mungkin saja terjadi pada setiap orang,” jelasnya.
Seakan menepis semua steorotip mengenai kaumnya, Aung San Suu Kyi membuktikan bahwa seorang perempuan dapat bebas menentukan keputusannya sendiri, jika ia memang menginginkannya. Memilih rakyat dan negara di atas keluarganya tidak salah lagi adalah salah satu keputusan terberat dalam hidupnya, namun ia telah memilih. “Itu merupakan keputusan yang sulit dan menyedihkan, tapi itulah pilihan saya dan saya pikir itu adalah keputusan yang benar,” ungkapnya.
Kini setahun sudah ia mengecap udara bebas di luar rumah. Di usianya ke-66 tahun, ia siap melanjutkan perjuangan untuk membuat perubahan di negaranya. Ia kembali berkumpul bersama anak-anaknya meski tak bisa lagi bertemu suami tercinta. Ia mulai aktif melakukan kampanye meski mengaku masih gugup menggunakan handphone. Pada akhirnya, kisah Aung San Suu Kyi lebih dari sekedar kisah perempuan yang mengorbankan kepentingan pribadi demi rakyat banyak, namun juga kisah mengenai perjuangan menegakkan demokrasi dan kemerdekaan. Freedom from fear, as she always says. 

*Terbit di Majalah Marie Claire Indonesia edisi Januari 2012