Sunday, April 15, 2012

Dunia Lola


Tak seperti karya-karya filmnya yang semakin dikenal, banyak yang tidak begitu mengetahui kehidupan Lola Amaria. Melalui sesi foto dan wawancara selama tiga jam, ia memberi celah pada Marie Claire untuk masuk lebih dalam ke dunianya yang sederhana namun penuh makna.

Photograph by Hakim Satriyo


Kesan pertama bertemu Lola Amaria adalah kedisiplinannya. Ia datang tepat waktu sesuai janji yang kami sepakati untuk bertemu pukul 11 pada suatu siang yang mendung di bulan Januari. Ia bahkan datang lebih awal ke lokasi pemotretan. Lola menyambut kami dengan sapaan akrab walaupun sudah menuggu setengah jam. Mengenakan kemeja warna fuschia dipadu denim hitam dan sepatu keds, Lola tampak santai.

Ia langsung memperlihatkan berbagai barang yang memiliki arti penting baginya maupun barang-barang favorit seperti sepatu Adidas yang hampir berubah warna menjadi kecoklatan dari warna asli putih karena terlalu sering dipakai. “Sepatu ini telah mengikuti saya ke mana-mana, sampai ke Cina dan New York dan saya pakai dalam berbagai kesempatan mulai dari hang out dengan teman-teman, riset ke berbagai daerah dan selama proses syuting.” Walau diprotes sahabat dekat sekaligus manajernya Dimas agar tak memakai sepatu itu lagi, ia bersikeras untuk tetap mengenakannya. “Sepatu ini kan limited edition, jadi sudah tidak ada lagi di pasaran, padahal saya suka sekali. Kalau nanti keluar lagi, saya akan beli dengan model dan warna yang sama,”ceritanya.

Bersama-sama kami membongkar tasnya, mencoba menggali siapa sebenarnya Lola Amaria. Ia memperlihatkan batik kesayangannya yang didapatnya dari pebatik terkenal Go Tik Swan. Lola mendapat kesempatan membeli koleksi batik tersebut saat mengadakan riset untuk film dokumenter mengenai pebatik favorit mantan Presiden Soekarno itu. CD yang berisi lagu-lagu Serge Gainsbourg dan Jane Birkin dengan hits mereka “Je T’aime…Moi Non Plus” menjadi favorit Lola. Beberapa buku karya Paulo Coelho, Ayu Utami, Pramoedya Ananta Toer juga diperlihatkannya, serta beberapa film favoritnya. Tak lupa sebuah tas Yves Saint Laurent warna putih juga ia bawa, sebuah hadiah dari seorang sutradara asal Taiwan.

Benda-benda tersebut, hanya sebagian dari dunia sekitar Lola. Meski kami berharap dapat bertemu di rumahnya, memasuki dunia Lola yang sesungguhnya, ia memilih untuk bertemu di luar. Mungkin ia ingin tetap menjaga rumahnya sebagai ruang privat, dunia yang hanya bisa dinikmati oleh ia dan orang-orang dekatnya.

 Apa saja kegiatan Anda saat ini?

Saat ini saya sedang mengerjakan omnibus Sanubari Jakarta, proyek sepuluh film pendek tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di Indonesia. Saya bertindak sebagai produser dan ikut menyutradarai satu film tentang biseksual.

Seperti dalam film Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP) yang juga menyorot kehidupan lesbian, mengapa Anda tertarik untuk mengangkat isu LGBT ini?

Secara pribadi, saya tertarik dengan isu ini karena saya banyak memiliki teman yang  merupakan LGBT juga. Selain itu, LGBT adalah realita sosial. Saya dan para pembuat film dalam omnibus ini ingin menekankan pada penonton bahwa kehidupan LGBT ini tidak hanya ada di negara-negara besar, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Sebenarnya film ini bersifat edukasi supaya masyarakat lebih tahu mengenai keberadaan LGBT. Sedangkan isu lesbian diangkat di film MPdVP karena memang begitu pula realita yang ada di sana.

Film-film Anda juga menunjukkan kepedulian terhadap masalah perempuan, bagaimana awal ketertarikan Anda  dengan persoalan perempuan?

Sebenarnya itu terjadi begitu saja tanpa saya sadari. Saya baru sadar setelah banyak orang bertanya mengapa saya tertarik dengan permasalahan perempuan. Mungkin alasan tepatnya adalah karena saya perempuan mungkin ya? Jadi saya lebih dekat dengan masalah yang perempuan alami.

Bagaimana Anda melihat hubungan antara perempuan dan laki-laki?
Bagi saya laki-laki dan perempuan itu tidak ada bedanya. Apapun yang menjadi hak laki-laki juga menjadi hak perempuan. Apapun yang menjadi kewajiban laki-laki menjadi kewajiban perempuan juga. Artinya, segala sesuatu harus seimbang, tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah. Karena jika keduanya memposisikan diri seimbang, tahu batasan dan porsi masing-masing, maka kasus-kasus pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan tidak akan terjadi.

Apakah keluarga mempengaruhi cara Anda menjalani hidup saat ini?
Ya, Papa saya galak dan keras terhadap anak-anaknya. Jadi didikan keras itu terbawa sampai sekarang. Saya dan semua saudara dididik untuk mandiri dan dibiasakan untuk tidak tergantung pada orang lain. Kalau tidak terpaksa sekali, jangan minta tolong. Kami juga tumbuh dengan disiplin yang kuat. Bangun tidur, semua harus membereskan tempat tidur sendiri; baju kotor ditaruh di keranjang, jangan sampai berceceran; selesai makan, cuci piring sendiri. Dulu saya sering kesal menjalani disiplin seperti itu. Tapi saya merasakan manfaatnya sekarang ketika saya sudah dewasa, saya menjadi pribadi yang mandiri dan tidak mudah tergantung pada orang lain.

Anda tumbuh dalam keluarga besar (9 bersaudara), apakah Anda dekat dengan saudara-saudara Anda?
Walau tumbuh dalam keluarga besar, kami bersaudara sangat dekat satu sama lain. Setiap bulan saya pasti menyediakan waktu bertemu keluarga. Entah makan siang bersama, atau memang ada acara khusus, atau memang sekedar berkumpul bersama. Jadi, sebenarnya saya adalah family person.

Siapa inspirasi Anda dalam berkarya?
Ada banyak. Untuk sutradara saya suka sekali dengan Zhang Yimou, Teguh Karya, dan Syuman Jaya. Kalau untuk buku saya suka Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma dan Ayu Utami. Mereka itu orang-orang yang patut dihormati karena pemikiran mereka bisa mempengaruhi pemikiran kita juga. Saya senang menonton film dan musik tertentu, tapi bukan berarti saya harus berkarya seperti orang-orang tersebut. Saya tetap harus menjadi diri sendiri. Film-film yang saya tonton itu menjadi referensi saja dalam berkarya.

Film yang sangat berkesan bagi Anda?
The Three Colours Trilogy dari sutradara Polandia Krzysztof KieÅ›lowski, The Piano yang dibintangi oleh Holly Hunter dan film-film dari Zhang Yimou. Saya suka semua film-film Yimou karena ia sepertinya sangat mendalami dunia perempuan.  Dulu saya berpikir bahwa dia adalah seorang perempuan padahal ternyata dia adalah laki-laki. 

Anda seperti memiliki ketertarikan khusus dengan kultur Cina, apakah memang begitu?
Iya. Saya sangat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan budaya Cina dan menurut saya banyak sekali hal menarik dalam kebudayaan tersebut. Jika ada pepatah yang mengatakan tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina, saya rasa itu banyak benarnya. Ketika kita datang ke negeri tersebut kita akan belajar betapa kayanya budaya negeri itu.

Banyak orang menggambarkan Anda sebagai seseorang yang dingin, tidak ramah, bahkan pemalu, apakah benar?
(Tertawa) Saya tidak tahu bahwa pandangan orang-orang bisa seberagam itu terhadap saya. Tapi pandangan itu kan datang dari berbagai orang, mulai dari yang sudah sangat kenal saya, baru kenal, bahkan tidak kenal sama sekali. Jadi sah-sah saja jika orang berpandangan seperti itu.

Bagaimana Anda menggambarkan diri sendiri?
Wah jangan tanya saya, coba tanya manajer dan sahabat saya yang mengenal saya dengan baik. 

Tapi bisa saja pendapat dia berbeda dengan apa yang Anda pikirkan tentang diri Anda sendiri…
Hmm…sebenarnya saya ini orang yang lucu (tertawa terbahak). Saya juga seorang yang disiplin; cerewet dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, tapi tidak dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga suka masak, tapi belum jago seperti chef yang ada di televisi itu. Saya senang masak untuk orang lain, jadi kadang saya mengundang teman-teman untuk makan bersama. Kalau masak sendiri tidak seru ya. 

Apa yang sangat berbeda dengan Anda yang sekarang dan saat berusia 20-an?
Satu hal yang paling berubah adalah bagaimana saya memandang kecantikan. Dulu mungkin cantik itu misalnya berarti putih dan tinggi. Setelah saya menjadi finalis Wajah Femina 1997, saya banyak belajar memandang cantik itu dari sisi lain. Kecantikan bisa datang dari kepribadian kita, dari cara berpikir.
Perubahan besar dalam hidup saya sebenarnya tidak terlalu signifikan. Sekarang saya sangat  mengutamakan kenyamanan dalam bekerja, jadi uang bukan lagi orientasi utama. Ketika menerima suatu pekerjaan, saya harus merasa nyaman dulu dengan pekerjaan tersebut, baru saya ambil, meski tidak memberikan pendapatan yang besar. Makin ke sini, bekerja itu semakin pakai hati.

Apa yang membuat Anda bahagia?
Saat saya bisa bangun siang, tidak dikejar deadline, punya waktu libur panjang di mana saya tidak harus mengerjakan apa-apa dan tidak ada handphone atau laptop di sekitar saya.

Spot liburan favorit?
Bali. Di sana ada tempat healing bagus di mana saya bisa melakukan yoga dan meditasi. Selain itu, saya juga senang berenang di laut, menyepi ke pegunungan, atau hanya sekedar duduk di pantai di sore hari. Kegiatan-kegiatan seperti itu bisa membantu saya sebagai stress management.

Apa pencapaian terbesar Anda hingga saat ini?
Sebenarnya saya tidak berpikir bahwa saya telah memiliki pencapaian terbesar dalam hidup. Jika saya meraih sesuatu yang besar, saya selalu kembali ke titik nol agar tidak menjadi sombong. Artinya segala pencapaian yang orang hargai dan hormati itu jangan terlalu dibesar-besarkan. Prinsip saya, dipuji tidak boleh sombong, dikritik tidak boleh marah. Jadi saat orang menghargai karya saya, saya bahagia, namun saya tidak mau terlena. Harus kembali lagi ke titik nol, membuat lagi karya yang baru.  Achievement bagi saya adalah saat seseorang bisa mencapai puncak namun bisa kembali ke bawah lagi, tetap down to earth. 

Apa yang Anda takutkan dalam hidup?
(Diam sejenak) Saya takut kalau Mama saya marah. 

Impian Anda ke depan?
Seperti yang saya bilang saya tidak memiliki impian yang muluk-muluk dan tidak memiliki ambisi besar. Tapi saya memiliki sebuah kotak mimpi (sambil memperlihatkan sebuah kotak kecil dari kayu). Saya menulis impian-impian saya di sehelai kertas kemudian saya masukkan ke dalam kotak ini yang selalu saya letakkan di bawah bantal. Tapi jujur saja, saya sudah tak ingat lagi apa saja impian yang saya tulis di kertas itu (sambil tertawa ia membuka kertas impiannya dan memperlihatkan pada marie claire beberapa mimpi-mimpinya itu: bahagia lahir batin dan sehat walafiat, keliling dunia dengan karya, ingin punya rumah sendiri)





No comments:

Post a Comment