Setiap tahun, belasan juta anak perempuan di seluruh dunia menikah di
usia yang masih sangat dini, dan
Indonesia menjadi salah satu negara yang menyumbang tinggi
untuk angka ini. Anak-anak perempuan menikah saat mereka seharusnya
masih mendapatkan hak pendidikan atau bercengkrama dengan teman sebaya, bahkan
mulai jatuh cinta. Berikut cerita dari Pulau Nias, Sumatra Utara
di mana praktik pernikahan dini masih sering terjadi.
Feberia Herefa, saat itu masih berusia di awal 17 tahun atau
bahkan kurang, sedang bekerja di ladang seperti hari-hari biasanya bersama
kedua kakak perempuannya ketika tiba-tiba mereka dipanggil segera pulang ke
rumah. Dengan hati bertanya-tanya, ketiga kakak beradik itu pun melangkah
pulang ke rumah mereka yang terletak di Desa Namohalu, sebuah desa kecil di kepulauan Nias, Sumatra Utara. Ketika sampai di rumah, mereka melihat ada beberapa tamu yang duduk
bersama orang tua mereka. Di antara para tamu, tampak seorang pemuda yang
sedikit tampak lebih tua dari usia Feberia yang belum pernah dikenalnya.
Tak lama setelah tamu meninggalkan rumah mereka, Feberia dan
kakak-kakaknya dipanggil bicara oleh orangtua mereka. Ia tidak menyangka bahwa
sejak sore itu hidupnya akan berubah. Dengan agak gugup dan suara
tersendat, ibunya
memberitahu Feberia bahwa pemuda yang tadi duduk dan bersalaman dengan dia adalah
calon suaminya dan mereka akan segera menikah. “Saya sangat kaget mendengar
perkataan ibu saya, rasanya tidak percaya,” tutur Feberia saat kami bertemu di
rumah mertuanya di Desa Lombuza’ua, Nias Utara.
Berhari-hari Feberia tetap menangis, berdoa dan memohon pada
oranguanya agar membatalkan rencana tersebut. Ia meminta salah satu kakaknya
saja yang menikah karena mereka mungkin lebih siap dan lebih tua darinya. Tapi keluarga
laki-laki telah memilihnya, dan ia harus menikah karena keluarga mereka
membutuhkan uang dari mas kawin yang akan dibayarkan keluarga laki-laki.
Sebuah pesta pernikahan yang sederhana pun digelar
satu bulan kemudian dan Feberia diboyong ke rumah keluarga suaminya yang
terletak sekitar 2 jam perjalanan dengan sepeda motor dari rumah orangtuanya.
Ia terpisah dari ibu, bapak dan kakak-kakaknya.
Persoalan Global
Feberia
adalah satu dari sekitar 700 juta perempuan di dunia yang menurut data dari
UNICEF menikah pada saat usia mereka masih cukup dini dan sepertiga dari jumlah itu, menikah sebelum
mereka berusia 15 tahun. Indonesia termasuk negara dengan tingkat pernikahan
dini yang cukup tinggi, menduduki peringkat ke-37 di dunia, dan nomor 2 di Asia
Tenggara setelah Kamboja. Meski dari tahun ke tahun kecenderungan tersebut
terus menurun, namun tren ini tetap menjadi perhatian yang memprihatinkan dan merupakan
realitas, baik bagi anak perempuan maupun anak laki-laki walaupun secara global
yang paling merasakan dampaknya adalah anak perempuan, seperti
Feberia.
Secara global faktor penyebab pernikahan di usia dini juga
cenderung sama. Faktor budaya, ekonomi, dan motivasi pendidikan yang rendah
adalah di antara yang utama. Namun gejala modernisasi dan perubahan perilaku
masyarakat juga menjadi faktor besar: banyak anak di bawah umur terpaksa
menikah karena terlanjur hamil.
Kepulauan Nias yang terletak di provinsi Sumatra utara,
adalah salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Mata
pencaharian utama masyarakat adalah dengan ladang karet dan berkebun. Daerah
yang sangat sulit dan sarana prasarana yang tidak memadai membuat akses
pendidikan dan kesehatan juga menjadi sangat sulit. Tidak jarang anak-anak
harus berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai sekolah mereka. Tantangan ini,
dan sedikitnya kesempatan ekonomi yang tersedia setelah mereka selesai sekolah
membuat motivasi belajar sangat rendah. Feberia hanya bersekolah hingga kelas 2
SD sehingga untuk berbahasa Indonesia pun ia mengalami kesulitan dan harus
mengandalkan penerjemah ketika berbicara dengan saya.
Ketika anak perempuan tidak lagi bersekolah, mereka lebih
banyak tinggal di rumah, atau sekadar membantu orangtua bekerja di ladang.
Karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjadi sumber ekonomi, bagi
banyak orangtua, menikahkan mereka adalah salah satu jalan ke luar yang cepat
dan efektif untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Berbeda
dengan anak laki-laki, jika mereka tidak bersekolah, mereka bisa bekerja di
kebun dan membantu perekonomian keluarga. Selain itu, anak laki-laki juga banyak yang
kemudian keluar dari desa dan mencari pekerjaan lain, sementara para orangtua
cenderung tidak mau melepaskan anak perempuan mereka untuk keluar dari desa.
Saat saya temui, Feberia baru pulang dari ladang tempat ia
sehari-hari menyadap karet bersama ibu mertuanya. Karena suaminya bekerja
sebagai buruh di kota Pekanbaru dan tidak selalu bisa mengirimkan uang, ia dan
ibu mertuanya dituntut untuk bekerja menghidupi mereka sekeluarga bersama
anaknya dan adik iparnya. Ia juga membuka warung kelontong kecil-kecilan. Ia
tampak lemas, setelah sakit selama beberapa hari. “Sejak melahirkan, saya
sering sakit dan gampang pusing serta tidak sekuat dulu lagi,” ujar Feberia sambil
menggendong anaknya yang bernama Fajar dan berusia hampir 1 tahun. Sesuai
dengan tradisi Nias yang memanggil perempuan dengan nama anak pertamanya,
Feberia sekarang lebih dikenal dengan panggilan Ina (Ibu) Fajar.
Sebelum melahirkan Fajar, Feberia sempat keguguran satu kali,
dan ia mengaku sampai sekarang masih sering merasakan nyeri di perutnya sejak
keguguran dan melahirkan. Ini adalah risiko yang biasa dihadapi
perempuan yang menikah di usia dini. Selain keguguran, banyak perempuan yang
meninggal pada saat proses melahirkan atau ketika masih mengandung. Kemungkinan
para perempuan
ini meninggal karena komplikasi kehamilan yang sangat tinggi dan fisik yang belum siap untuk itu.
Dan bayi mereka banyak yang meninggal di usia awal kehidupan atau
meninggal di dalam rahim seperti bayi pertama Feberia.
Dalam budaya Nias, tradisi uang mas kawin atau yang disebut
dengan istilah uang jujuran masih
kuat. Uang jujuran ini diberikan keluarga
perempuan kepada keluarga laki-laki. Seperti tradisi di India, yang memiliki
angka pernikahan dini yang tinggi karena sistem mas kawin yang kuat, ini juga
yang menjadi pendorong seringnya anak perempuan dinikahkan di usia muda di
Nias. Dalam kasus Feberia, ia dinikahkan sebagai tindakan untuk
menyelamatkan keluarganya dari beban ekonomi akibat persoalan yang sangat
pelik. “Ceritanya sangat panjang, saat itu saya dipaksa menikah untuk
melunasi utang perdamaian atas kasus pembunuhan yang dilakukan oleh abang
kandung saya. Orangtua saya tidak punya uang untuk melunasi hal tersebut,
sehingga saya dijodohkan dan dinikahkan dan uang jujuran saya dipergunakan untuk membayar uang perdamaian kepada
keluarga korban pembunuhan yang dilakukan abang saya,” tuturnya dengan tenang
sambil tersenyum sabar.
Uang jujuran menjadi persoalan yang sangat kompleks di tradisi
Nias karena melibatkan keluarga besar. Ketika akan menikah, keluarga laki-laki
harus membayar uang jujuran pada keluarga perempuan. Namun kondisi ekonomi yang
buruk, mereka terpaksa meminjam dari kerabat mereka untuk membayarnya. Setelah
menikah, menjadi tanggung jawab anak-anaklah untuk membayar hutang uang jujuran
tersebut. Seringkali hutang tersebut tidak bisa terbayarkan hingga
bertahun-tahun kemudian. Atau mereka akan berhutang lagi untuk membayar hutang
sebelumnya. Sebuah lingkaran setan yang tak pernah habis.
Menurut kepala desa Lombuza’ua angka pernikahan dini di desanya
sendiri tidaklah terlalu tinggi namun angka putus sekolah yang tinggi menjadi
faktor pendorong. “Selain
karena faktor ekonomi, orangtua merasa tidak mampu lagi menyekolahkan anak-anak
mereka, dan menikahkan anak mereka membuat mereka lepas tanggung jawab, juga dipengaruhi
oleh lingkungan karena ada teman-temanya yang meninggalkan sekolah dan memilih
untuk segera menikah,” jelasnya.
Pola pikir berdasar tradisi yang sangat kuat banyak menjadi
penghalang bagi anak perempuan di Nias untuk maju. Bahkan untuk anak-anak yang
berprestasi sekalipun dan tinggal di ibukota kabupaten, ancaman mereka untuk
tidak bisa melanjutkan studi pun masih tinggi. Restanti Warowu, salah satu
remaja Nias berprestasi dan tergabung dalam Forum Remaja Nias yang saya temui
mengungkapkan hal tersebut. Restanti yang saat ini duduk di kelas 3 SMA, cemas
tidak bisa mendapatkan ijin orangtua untuk melanjutkan studi ke perguruan
tinggi dengan kualitas yang lebih baik karena orangtuanya takut melepas anak
perempuan mereka ke luar pulau. Ia juga cemas orangtuanya tidak bisa membiayai
uang kuliahnya karena persoalan yang sama.
Sementara bagi sebagian anak perempuan seperti Feberia yang
hidup di desa yang lebih kecil, tidak hanya mereka kehilangan kesempatan mereka
untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi, namun juga menikmati masa remaja
mereka. “Saya sangat sedih tidak bisa menikmati masa-masa remaja
saya dengan baik, kalau dulu saya bisa bermanja-manja dengan orangtua saya,
saat ini tidak ada lagi, setiap hari harus kerja demi mencari nafkah. Saya juga
lelah karena dipaksa untuk berpikir tentang utang-utang pernikahan, nafkah
keluarga dan mengurus anak,” tuturnya. Tapi ia mengaku tidak marah kepada
keluarganya yang memaksanya menikah, atau pada abangnya yang membuat ia
terpaksa menikah. “Saya sudah cukup beruntung yang datang pada saya bukan
kakek-kakek tapi laki-laki yang masih muda. Teman-teman saya ada yang terpaksa
menikah laki-laki yang jauh lebih tua dengan mereka.” Tentu saja, meski baru
kenal setelah mereka menikah, tumbuh juga perasaan sayang dalam diri Feberia
terhadap suamianya. “Saya berharap sekali bisa ikut suami, tapi tidak mungkin
karena biaya hidup di kota sangat tinggi,” ujarnya.
Photograph by: Wahyudi Tan
Terbit di Marie Claire Indonesia edisi Mei 2015.
(Kontributor Wawancara: Dominiria Hulu)
No comments:
Post a Comment