Monday, December 19, 2011

Jangan Lupakan Mereka

Konflik di Papua menandai akhir tahun yang penuh gejolak di Indonesia. Banyak pihak khawatir pelanggaran HAM akan terjadi lagi di bumi yang kaya itu, padahal kasus-kasus yang lama belum tersentuh hukum. Peristiwa Tanjung Priok, Kekerasan di Timor Timur dan Aceh serta berbagai peristiwa kekerasan pada tahun 1997-1998 adalah sekian dari kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh hukum. Tiga keluarga korban bercerita mengenai perasaan kehilangan mereka. Ada yang masih berduka, ada yang telah merelakan kepergian sang ayah atau adik tercinta. Namun, semua memiliki harapan yang sama: agar mereka yang pergi jangan dilupakan dan perjuangan untuk mendapatkan kebenaran harus tetap diteruskan.

Sari Ratna Dewi, kakak Elang Mulya Lesmana duduk di monumen Tragedi 12 Mei yang didirikan Universitas Trisakti untuk mengenang mahasiswa yang menjadi korban pada peristiwa 12 Mei 1998 (Foto oleh: Chris Bunjamin)

 
Perjuangan Belum Berakhir


Tubuhnya kecil, kurus dan terlihat ringkih. Namun dengan langkah mantap ia berjalan ke depan kerumunan massa yang sore itu lebih banyak daripada biasanya. Tak terlihat bayangan takut dan gentar di wajahnya meski di sekeliling massa berdiri sepasukan polisi, lengkap dengan senjata tersampir di badan mereka. Berpakaian serba hitam dan mengenggam payung hitam di tangannya, Maria Catarina Sumarsih atau akrab dipanggil Sumarsih, mengkoordinasi beberapa orang untuk berbaris rapat di sampingnya. Pada payung yang digenggam Sumarsih terdapat tulisan yang berbunyi: Tuntaskan Kasus Trisakti dan Semanggi.
Di sore yang panas itu, pada suatu Kamis di bulan Oktober 2011, tepat di seberang Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Sumarsih berdiri diam bersama teman-temannya. Di sekeliling mereka beberapa orang berorasi mengenai berbagal hal, mulai dari konflik di Papua sampai reshuffle kabinet. Orasi ini ditingkahi teriakan dan tepukan tangan para pengunjuk rasa. Meskipun suasana riuh di sekitarnya, Sumarsih dan kawan-kawan tetap membisu. Inilah cara mereka untuk menyuarakan protes; dengan diam. Aksi yang disebut dengan Kamisan ini merupakan aksi ke-230 yang dilakukan oleh Sumarsih dan orang-orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).  Aksi diam yang damai ini mereka lakukan sebagai usaha untuk mendapatkan keadilan bagi korban berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia.  

Bertahun-tahun lalu, hari-hari Sumarsih disibukkan oleh tugasnya sebagai seorang istri, ibu dari dua anak dan karyawan di kantor sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  Ia mengabdikan hidupnya pada tugas-tugasnya tersebut dan memberikan seluruh cintanya pada keluarga, terutama anak-anaknya. Namun, peristiwa tanggal 13 November 1998 merubah hidup Sumarsih. Hari itu menjadi titik balik kehidupannya sebagai seorang ibu, menjugkirbalikkan dan memporakporandakan sebuah bangunan yang bernama kebahagiaan yang diisi oleh cinta dan kasih sayangnya. Peristiwa itu pula yang kemudian merubah Sumarsih dari seorang karyawan biasa dan ibu rumah tangga menjadi seorang pejuang HAM.

Hari itu, Kamis 13 November 1998, putra pertama Sumarsih, Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, tewas diterjang peluru aparat militer saat ia berusaha menolong temannya yang terluka akibat kekerasan aparat di pelataran parkir Kampus Atma Jaya, Semanggi, Jakarta. Kampus Atma Jaya tempat Wawan berkuliah sedang dalam keadaan tegang karena aksi mahasiswa yang berdemonstrasi damai menolak sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dilawan oleh aparat bersenjata. Wawan saat itu tergabung dalam Tim Relawan Kemanusiaan (TRK). Ia berada di sana sebagai tim logistik untuk mendukung rekan-rekan mahasiswa yang berunjuk rasa. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi I.
Tragedi Semanggi I merubah dunia Sumarsih yang terang benderang menjadi kelabu bahkan hitam pekat. “Cinta kasih saya direnggut oleh penguasa. Saya merasa kehilangan segala-galanya,” ujarnya. Setelah berbulan-bulan dirundung duka atas kematian putranya, pada awal tahun 1999 Sumarsih baru mampu keluar rumah. Dengan mengumpulkan kembali kekuatannya, ia memulai perjuangannya untuk memperoleh kebenaran atas peristiwa kematian Wawan yang  kemudian membawanya ke kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Perjuangan yang tidak mudah dengan jangka waktu yang juga tidak pendek. Selama 13 tahun terakhir, berbagai hal telah ditempuh oleh Sumarsih, termasuk aksi Kamisan yang telah ia lakukan lebih dari 230 kamis itu. 

Rumah Penuh Kenangan
Berada di kediaman Sumarsih di kawasan Meruya, Jakarta Barat, terasa sekali bagaimana duka yang selama ini menyelimutinya dan keluarga. Sebuah rak yang terletak di ruang tamu dipenuhi berbagai buku yang kebanyakan bertema perjuangan dan HAM. Foto Wawan dan berbagai piagam yang pernah diterimanya memenuhi sebuah rak lain. Sebuah piring tertangkup di sudut meja makan dengan sepasang sendok garpu di atasnya. Di sebelah piring itu terletak sebuah gelas. “Itu adalah perlengkapan makan Wawan,” kata Sumarsih seakan menangkap pertanyaan yang hadir di kepala saya. “Wawan selalu makan di sini dan meja makan ini menyimpan banyak kenangan saya bersama Wawan. Di sini, setiap malam kami makan bersama. Kami bercerita mengenai keseharian masing-masing. Mulai dari situasi politik sampai pada menu makanan yang akan dimasak keesokan harinya,” tutur Sumarsih.

Di meja itu pula, sehari sebelum kematiannya, Wawan berbicara dengan Sumarsih melalui telepon. Ia menanyakan apa menu yang akan dimasak ibunya hari itu, tapi ternyata tidak ada menu yang cocok dengan selera Wawan. “Karena itu, keesokan harinya, Jum’at saya memasak masakan kesukaan Wawan: empal dan sayur asam,” Sumarsih bercerita dengan senyum yang hangat. Wawan tidak pernah memakan empal dan sayur asam kesukaanya itu, karena saat ia pulang, ia sudah berada dalam keranda jenazah. Karena terlalu banyak kenangan yang tersimpan di meja makan tersebut, Sumarsih tidak pernah lagi makan di sana. Namun ia selalu meletakkan perlengkapan makan untuk putranya, seakan menunggu sang putra kembali untuk makan malam.

“Dulu saat keluarga saya masih lengkap, kehidupan saya penuh dengan sukacita. Kemudian semua sukacita ini direnggut dari kehidupan saya secara mendadak dan semua ini merubah banyak hal dalam keseharian saya,” kata Sumarsih. Sejak sehari setelah kematian putranya, ia berhenti  makan nasi. Ia juga berpuasa setiap Kamis, Jum’at dan Sabtu. Ini adalah bentuk kebulatan tekadnya untuk memperoleh keadilan bagi putranya. Selama 13 tahun ini juga ia tidak pernah absen mengunjungi makam Wawan setiap hari di pemakaman umum Joglo. “Jadi jika ada orang yang ingin menemui saya, gampang, cukup datang ke TPU Joglo pukul 8 pagi, saya pasti ada di sana,” kata Sumarsih sambil tertawa.

Menurut Sumarsih, selain aktif berorganisasi dan berpikiran kritis, Wawan adalah anak yang pandai berdiplomasi. Dia tahu benar caranya meyakinkan orang. Minggu itu sebenarnya ia baru selesai diopname di rumah sakit dan ia seharusnya beristirahat di rumah. Namun saat aksi demonstrasi mulai meningkat, Wawan minta izin pada ibunya untuk pergi ke kampus. “Bu, Wawan minta izin ke kampus ya. Ada banyak teman-teman kampus lain yang berkumpul di Atma Jaya, masa Wawan yang kuliah di sana enak-enakan di rumah?” kata Sumarsih menirukan ucapan Wawan. “Akhirnya saya biarkan ia ke kampus. Tapi saya selalu mengingatkannya untuk berhati-hati.” Karena khawatir peristiwa penembakan di Trisakti terulang lagi, Sumarsih menganjurkan Wawan untuk mengadakan seminar atau diskusi saja sebagai media penyampaian aspirasi mahasiswa dan masyarakat pada pemerintahan. Wawan setuju dengan anjuran ibunya tersebut. Namun rencananya untuk mengadakan seminar dan diskusi tidak sempat terwujudkan.
“Wawan itu anak yang baik, sangat patuh pada orang tua dan juga perhatian pada adiknya. Saya selalu percaya bahwa Wawan akan memperhatikan apa yang saya ingatkan bahwa ia sebaiknya tidak ikut turun berdemonstrasi ke jalan. Makanya pada hari itu tidak ada kekhawatiran sama sekali walaupun tahu ia ada di Atma Jaya. Kenyataannya, dia memang tidak ikut turun ke jalan. Ia tetap berada dilingkungan kampus untuk mendukung kebutuhan rekan-rekannya. Wawan ditembak bukan karena ia sedang berdemo melainkan saat berusaha menolong temannya yang terluka. Inilah yang ingin selalu saya ingatkan pada negara, bahwa anak saya tidak bersalah dan ia berada di pihak yang benar,” kata Sumarsih dengan suara tegas.

Kelihaian Wawan dalam berdiplomasi juga menjadi kenangan tersendiri bagi Irma (31) adik Wawan. “Waktu kecil, kami selalu bermain bersama. Dia tak segan mengajak saya bermain bersama teman-temannya walaupun saya satu-satunya perempuan. Dia sering membagi uang jajannya dengan saya, namun juga sering membujuk saya untuk membuka celengan agar kami bisa jajan bersama. Dia memang terkenal dari kecil pintar bicara dan membujuk orang. Jadi saya tidak sadar kalau dia sedang menjahili saya,” kenang Irma sambil tertawa.

Perjuangan Belum Berakhir
Ada enam agenda reformasi yang diperjuangkan mahasiswa saat itu. “Sebagai bentuk cinta kasih saya terhadap Wawan, saya ingin melanjutkan perjuangan dia untuk mewujudkan agenda ketiga, yaitu supremasi hukum,” ujar Sumarsih. Berjuang hampir 13 tahun tanpa ada hasil yang signifikan tidak menyurutkan semangat perempuan berusia 59 tahun ini. “Ada masanya saya merasa lelah dan ingin berhenti saja. Tapi kemudian saat saya memutuskan berhenti, saya selalu merasa seakan ada cahaya baru yang terlihat di ujung terowongan yang gelap, memberi saya harapan untuk meneruskan perjuangan mendapatkan kebenaran.” Yang paling penting bagi Sumarsih adalah agar kasus Wawan dan pelanggaran HAM lain ini dapat dibawa ke pengadilan HAM ad-hoc yang menangani kasus-kasus seperti itu. “Mengenai bagaimana hasilnya nanti, biarlah hukum yang menentukan,” ujarnya.

Sumarsih memegang salah satu foto anaknya, BR Norma Irmawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I (Foto: WS Pramono)

Wani Tak Lagi Gusar

            Tak terasa 13 tahun sudah ayahnya pergi. Wani tumbuh dewasa dan baru saja menikah. Pernikahan yang tidak dihadiri oleh ayahnya. Tak ada jabatan tangan disertai ijab kabul dari sang ayah yang membuat gugup si pengantin laki-laki. Tak ada tangis bahagia dan haru dari sang ayah karena harus melepas putri tercintanya ke kehidupan yang baru. Namun Wani tidak bersedih hati. 13 tahun adalah waktu yang panjang untuk menempa jiwa mudanya menjadi kuat, tegar dan mandiri.

Nama lengkapnya Fitri Nganthi Wani. Nama pemberian orang tuanya yang sering membuat dahi orang yang mendengarnya agak berkerut. “Nama yang agak aneh memang, apalagi untuk orang Jawa,” kata Wani sambil tertawa. Ia menjelaskan bahwa arti namanya dalam bahasa Indonesia adalah kesucian yang menggandeng keberanian. Wani lahir dari pasangan Wiji Thukul dan Dyah Sujirah atau akrab dipanggil Mbak Sipon. Ayah Wani, Wiji Thukul adalah satu dari 13 orang yang dinyatakan hilang selama periode 1997-1998. Saat itu Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian memancing masyarakat untuk melakukan demonstrasi dan kerusuhan dan pada akhirnya menyebabkan kejatuhan Soeharto. Pada periode, tidak hanya banyak mahasiswa dan rakyat sipil yang meninggal dalam demonstrasi dan kerusuhan, namun banyak juga aktivis yang diculik oleh aparat. Wiji Thukul menghilang pada periode ini. Walaupun tidak pernah ada pernyataan resmi dari negara, namun banyak orang yakin bahwa Wiji Thukul turut menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa oleh negara.

Wiji Thukul adalah seorang seniman/penyair yang juga dikenal sebagai aktivis pro-demokrasi. Ia bergabung dengan organisasi Persatuan Rakyat Demokratik (PRD) dan menempati posisi di divisi budaya organisasi ini. Melalui puisi-puisinya, Wiji Thukul aktif mengkritik pemerintah Orde Baru. Ia berasal dari Kampung Jagalan Kalangan, Solo, di mana ia hidup pas-pasan dengan keluarganya. Gaya berpuisinya berbeda dengan pakem-pakem sastra yang berlaku. Bait-bait dalam puisinya menggunakan kata-kata sederhana dan lugas. Tidak ada kiasan yang membuat otak harus berpikir keras untuk menemukan makna apa yang terkandung dalam puisinya. Sajak-sajak Wiji banyak menyinggung situasi hidup masyarakat miskin yang menjadi kesehariannya. Puisinya dikenal oleh para pedagang kaki lima, pemulung, seniman di kota Solo, aktivis di ibukota Jakarta sampai para jenderal bintang lima. Tetapi, puisi-puisi yang diagung-agungkan oleh masyarakat kelas bawah ini justru membuat resah para penguasa. Akibatnya Wiji sering didatangi aparat, diintimidasi, dianiaya dan karya-karyanya dirampas. Bahkan sebuah gambar karya Wani yang saat itu berumur 4 tahun pun turut ‘diamankan’ petugas.

Menjadi Anak Buronan Politik
Suatu hari pada bulan Desember 1997 mungkin tidak akan dilupakan oleh Wani. Itu adalah hari terakhir ia bertemu ayahnya di Stasiun Tugu, Yogyakarta. “Waktu itu saya merasa ada yang aneh,” kenang Wani. “Biasanya Bapak mengantar sampai masuk ke dalam kereta, tapi saat itu ia cuma mengantar sampai depan stasiun. Setelah itu kami tak bertemu lagi.” 

Memiliki ayah yang dikenal banyak orang memberi banyak tantangan dalam hidup Wani. Apalagi waktu itu Wiji terkenal dengan cara yang tidak lumrah. Ayahnya bukanlah seorang bintang film atau penyanyi terkenal. Ayahnya adalah seorang aktivis yang dikenal melalui puisi-puisinya yang bernada kritis dan sarat dengan nafas pemberontakan. Sesuatu yang sangat tabu bagi rezim orde baru. Karena itu ia dicap sebagai pengganggu stabilitas negara yang melakukan kegiatan subversif sehingga akhirnya menjadi buronan politik. Cap buruk tentang identitas ayahnya membuat Wani kecil sulit mendapatkan teman. “Saya kehilangan banyak teman. Para orangtua melarang anak-anaknya bermain dengan saya dengan alasan kalau Bapak adalah seorang penjahat. Itu yang saya dengar dari teman-teman. Kata orang tua mereka, Bapak penjahat dan mereka tak boleh bermain dengan anak penjahat.”

Keresahan dan kesedihan karena merindukan ayah yang tak pulang-pulang kemudian mendorong Wani untuk menulis. Adalah ibunya, Sipon yang awalnya menyuruh Wani untuk menulis sebagai terapi untuk menghadapi trauma Wani kehilangan ayahnya serta berbagai kesulitan yang mereka hadapi paska menghilangnya Wiji. Wani dulu sering kali datang pada saya sambil menangis, menanyakan mengenai bapaknya. Akhirnya saya bilang pada Wani, ‘Kamu boleh minta apa saja sama Ibu, asal kamu jangan minta Bapakmu pulang, Ibu ngga bisa’. Akhirnya saya suruh dia menulis. Setelah itu ia menjadi kecanduan menulis. Setiap ada persoalan ia tulis,” cerita Sipon.

Wani mulai menulis puisi pada usia sekitar 8 tahun. Dari puisi yang bertema keresahan dan kemarahan akan ketidakhadiran sosok ayah dalam hidupnya, puisi Wani berkembang ke berbagai persoalan sosial yang ia lihat dan alami sehari-hari seiring dengan pertumbuhan usianya. Ia menulis tentang masalah pribadi, keluarga, sekolah, teman dan pacar termasuk permasalahan perbedaan gender. Puisi-puisi yang ia tulis dalam kurun waktu 1999-2007 ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan puisi yang berjudul ‘Selepas Bapakku Hilang’.

Nama ayahnya yang melegenda kemudian menjadi masalah tersendiri juga bagi Wani. Ia selalu dihubungkan dengan ayahnya tersebut. Apalagi kemudian ia juga menulis puisi, seperti ayahnya. Darah seni Wiji pasti mengalir di tubuh Wani, namun ia ingin dikenal sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai anak Wiji Thukul. Pemberitaan terus menerus mengenai hilangnya Wiji Thukul juga menyisakan trauma sendiri bagi Wani. “Terus menerus berada dalam suatu berita, tulisan, maupun pembicaraan yang sifatnya sangat menyakitkan dan mendramatisir justru membuat saya terus meratapi masa lalu dan menjadi terhambat untuk melangkah ke depan. Terkadang saya muak dengan pemberitaan tentang keluarga saya yang isinya justru sangat mendayu-dayu. Saya lebih menyukai sesuatu yang beraromakan semangat dan optimisme,” tutur Wani.
 
Badai Telah Berlalu
Masa kecil yang penuh tantangan telah dilalui oleh Wani dengan susah payah. Wani dewasa telah menikah dan sekarang memiliki usaha bisnis online yang sekarang ia jalani bersama suaminya. “Sejak semester dua di bangku kuliah saya sudah menggeluti bisnis online dengan nama Mentari Kecil Onlineshop dan menggaji diri sendiri. Tidak seberapa, tapi saya cukup puas dapat meringankan sedikit beban Ibu,” ujar Wani yang tahun ini genap berusia 22 tahun. 

Di tengah optimismenya merajut masa depan yang masih panjang, terkadang Wani masih merindukan ayahnya. Ia merindukan perhatian dan kasih sayang yang ia terima saat ayahnya pulang setelah berhari-hari meninggalkan rumah. “Bapak bisa seharian penuh meluangkan waktunya untuk bermain dengan saya, berkeliling sepeda bersama saya dan Fajar, adik saya, lalu melihat kereta api yang lewat di palang kereta Jebres sore harinya.  Saya juga sangat merindukan berada di pangkuannya sampai terlelap saat dia tak bisa diganggu gugat berkutat dengan mesin ketiknya sampai larut malam. Dia juga selalu mendongengkan cerita tentang anak itik yang baik hati setiap malam menjelang saya tidur,” kenang Wani.

Bagi Wani, di manapun ayahnya berada sekarang adalah tempat terbaik yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia percaya kepergian Wiji Thukul bukan hanya untuk kepentingannya sendiri. “Itu sudah menjadi keputusannya dan saya sangat mengenal dia. Dia pergi bukan untuk meninggalkan kami, tapi untuk sebuah perubahan besar yang lebih baik,” ujar Wani.

Wani tak lagi gusar karena ayahnya belum juga pulang sampai sekarang. “Saya sudah ikhlas. Kalaupun suatu saat dia pulang, itu adalah berkah tambahan bagi kami sekeluarga, karena segala sesuatu pasti indah pada waktunya.” 

Info: Puisi-puisi Fitri Nganthi Wani dapat dibaca dalam buku berjudul ‘Selepas Bapakku Hilang’ terbitan PUsDEP, 2009.

Wani membaca puisi pada peluncuran buku puisinya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta

(Tulisan ini terbit di Majalah Marie Claire Indonesia edisi Desember 2011)


No comments:

Post a Comment