Tuesday, June 16, 2015

Belenggu Pernikahan Dini

Setiap tahun, belasan juta anak perempuan di seluruh dunia menikah di usia yang masih sangat dini, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang menyumbang tinggi untuk angka ini. Anak-anak perempuan menikah saat mereka seharusnya masih mendapatkan hak pendidikan atau bercengkrama dengan teman sebaya, bahkan mulai jatuh cinta.  Berikut cerita dari Pulau Nias, Sumatra Utara di mana praktik pernikahan dini masih sering terjadi.







Feberia Herefa, saat itu masih berusia di awal 17 tahun atau bahkan kurang, sedang bekerja di ladang seperti hari-hari biasanya bersama kedua kakak perempuannya ketika tiba-tiba mereka dipanggil segera pulang ke rumah. Dengan hati bertanya-tanya, ketiga kakak beradik itu pun melangkah pulang ke rumah mereka yang terletak di Desa Namohalu, sebuah desa kecil di kepulauan Nias, Sumatra Utara. Ketika sampai di rumah, mereka melihat ada beberapa tamu yang duduk bersama orang tua mereka. Di antara para tamu, tampak seorang pemuda yang sedikit tampak lebih tua dari usia Feberia yang belum pernah dikenalnya.
Tak lama setelah tamu meninggalkan rumah mereka, Feberia dan kakak-kakaknya dipanggil bicara oleh orangtua mereka. Ia tidak menyangka bahwa sejak sore itu hidupnya akan berubah. Dengan agak gugup dan suara tersendat, ibunya memberitahu Feberia bahwa pemuda yang tadi duduk dan bersalaman dengan dia adalah calon suaminya dan mereka akan segera menikah. “Saya sangat kaget mendengar perkataan ibu saya, rasanya tidak percaya,” tutur Feberia saat kami bertemu di rumah mertuanya di Desa Lombuza’ua, Nias Utara.
Berhari-hari Feberia tetap menangis, berdoa dan memohon pada oranguanya agar membatalkan rencana tersebut. Ia meminta salah satu kakaknya saja yang menikah karena mereka mungkin lebih siap dan lebih tua darinya. Tapi keluarga laki-laki telah memilihnya, dan ia harus menikah karena keluarga mereka membutuhkan uang dari mas kawin yang akan dibayarkan keluarga laki-laki.
Sebuah pesta pernikahan yang sederhana pun digelar satu bulan kemudian dan Feberia diboyong ke rumah keluarga suaminya yang terletak sekitar 2 jam perjalanan dengan sepeda motor dari rumah orangtuanya. Ia terpisah dari ibu, bapak dan kakak-kakaknya.



Persoalan Global
Feberia adalah satu dari sekitar 700 juta perempuan di dunia yang menurut data dari UNICEF menikah pada saat usia mereka masih cukup dini dan sepertiga dari jumlah itu, menikah sebelum mereka berusia 15 tahun. Indonesia termasuk negara dengan tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi, menduduki peringkat ke-37 di dunia, dan nomor 2 di Asia Tenggara setelah Kamboja. Meski dari tahun ke tahun kecenderungan tersebut terus menurun, namun tren ini tetap menjadi perhatian yang memprihatinkan dan merupakan realitas, baik bagi anak perempuan maupun anak laki-laki walaupun secara global yang paling merasakan dampaknya adalah anak perempuan, seperti Feberia.
Secara global faktor penyebab pernikahan di usia dini juga cenderung sama. Faktor budaya, ekonomi, dan motivasi pendidikan yang rendah adalah di antara yang utama. Namun gejala modernisasi dan perubahan perilaku masyarakat juga menjadi faktor besar: banyak anak di bawah umur terpaksa menikah karena terlanjur hamil.
Kepulauan Nias yang terletak di provinsi Sumatra utara, adalah salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Mata pencaharian utama masyarakat adalah dengan ladang karet dan berkebun. Daerah yang sangat sulit dan sarana prasarana yang tidak memadai membuat akses pendidikan dan kesehatan juga menjadi sangat sulit. Tidak jarang anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai sekolah mereka. Tantangan ini, dan sedikitnya kesempatan ekonomi yang tersedia setelah mereka selesai sekolah membuat motivasi belajar sangat rendah. Feberia hanya bersekolah hingga kelas 2 SD sehingga untuk berbahasa Indonesia pun ia mengalami kesulitan dan harus mengandalkan penerjemah ketika berbicara dengan saya.
Ketika anak perempuan tidak lagi bersekolah, mereka lebih banyak tinggal di rumah, atau sekadar membantu orangtua bekerja di ladang. Karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjadi sumber ekonomi, bagi banyak orangtua, menikahkan mereka adalah salah satu jalan ke luar yang cepat dan efektif untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Berbeda dengan anak laki-laki, jika mereka tidak bersekolah, mereka bisa bekerja di kebun dan membantu perekonomian keluarga. Selain itu, anak laki-laki juga banyak yang kemudian keluar dari desa dan mencari pekerjaan lain, sementara para orangtua cenderung tidak mau melepaskan anak perempuan mereka untuk keluar dari desa.
Saat saya temui, Feberia baru pulang dari ladang tempat ia sehari-hari menyadap karet bersama ibu mertuanya. Karena suaminya bekerja sebagai buruh di kota Pekanbaru dan tidak selalu bisa mengirimkan uang, ia dan ibu mertuanya dituntut untuk bekerja menghidupi mereka sekeluarga bersama anaknya dan adik iparnya. Ia juga membuka warung kelontong kecil-kecilan. Ia tampak lemas, setelah sakit selama beberapa hari. “Sejak melahirkan, saya sering sakit dan gampang pusing serta tidak sekuat dulu lagi,” ujar Feberia sambil menggendong anaknya yang bernama Fajar dan berusia hampir 1 tahun. Sesuai dengan tradisi Nias yang memanggil perempuan dengan nama anak pertamanya, Feberia sekarang lebih dikenal dengan panggilan Ina (Ibu) Fajar.
Sebelum melahirkan Fajar, Feberia sempat keguguran satu kali, dan ia mengaku sampai sekarang masih sering merasakan nyeri di perutnya sejak keguguran dan melahirkan. Ini adalah risiko yang biasa dihadapi perempuan yang menikah di usia dini. Selain keguguran, banyak perempuan yang meninggal pada saat proses melahirkan atau ketika masih mengandung. Kemungkinan para perempuan ini meninggal karena komplikasi kehamilan yang sangat tinggi dan fisik yang belum siap untuk itu. Dan bayi mereka banyak yang meninggal di usia awal kehidupan atau meninggal di dalam rahim seperti bayi pertama Feberia.

Tradisi dan Budaya
Dalam budaya Nias, tradisi uang mas kawin atau yang disebut dengan istilah uang jujuran masih kuat. Uang jujuran ini diberikan keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki. Seperti tradisi di India, yang memiliki angka pernikahan dini yang tinggi karena sistem mas kawin yang kuat, ini juga yang menjadi pendorong seringnya anak perempuan dinikahkan di usia muda di Nias. Dalam kasus Feberia, ia dinikahkan sebagai tindakan untuk menyelamatkan keluarganya dari beban ekonomi akibat persoalan yang sangat pelik. Ceritanya sangat panjang, saat itu saya dipaksa menikah untuk melunasi utang perdamaian atas kasus pembunuhan yang dilakukan oleh abang kandung saya. Orangtua saya tidak punya uang untuk melunasi hal tersebut, sehingga saya dijodohkan dan dinikahkan dan uang jujuran saya dipergunakan untuk membayar uang perdamaian kepada keluarga korban pembunuhan yang dilakukan abang saya,” tuturnya dengan tenang sambil tersenyum sabar.
Uang jujuran menjadi persoalan yang sangat kompleks di tradisi Nias karena melibatkan keluarga besar. Ketika akan menikah, keluarga laki-laki harus membayar uang jujuran pada keluarga perempuan. Namun kondisi ekonomi yang buruk, mereka terpaksa meminjam dari kerabat mereka untuk membayarnya. Setelah menikah, menjadi tanggung jawab anak-anaklah untuk membayar hutang uang jujuran tersebut. Seringkali hutang tersebut tidak bisa terbayarkan hingga bertahun-tahun kemudian. Atau mereka akan berhutang lagi untuk membayar hutang sebelumnya. Sebuah lingkaran setan yang tak pernah habis.
Menurut kepala desa Lombuza’ua angka pernikahan dini di desanya sendiri tidaklah terlalu tinggi namun angka putus sekolah yang tinggi menjadi faktor pendorong. “Selain karena faktor ekonomi, orangtua merasa tidak mampu lagi menyekolahkan anak-anak mereka, dan menikahkan anak mereka membuat mereka lepas tanggung jawab, juga dipengaruhi oleh lingkungan karena ada teman-temanya yang meninggalkan sekolah dan memilih untuk segera menikah,” jelasnya.
Pola pikir berdasar tradisi yang sangat kuat banyak menjadi penghalang bagi anak perempuan di Nias untuk maju. Bahkan untuk anak-anak yang berprestasi sekalipun dan tinggal di ibukota kabupaten, ancaman mereka untuk tidak bisa melanjutkan studi pun masih tinggi. Restanti Warowu, salah satu remaja Nias berprestasi dan tergabung dalam Forum Remaja Nias yang saya temui mengungkapkan hal tersebut. Restanti yang saat ini duduk di kelas 3 SMA, cemas tidak bisa mendapatkan ijin orangtua untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dengan kualitas yang lebih baik karena orangtuanya takut melepas anak perempuan mereka ke luar pulau. Ia juga cemas orangtuanya tidak bisa membiayai uang kuliahnya karena persoalan yang sama.
Sementara bagi sebagian anak perempuan seperti Feberia yang hidup di desa yang lebih kecil, tidak hanya mereka kehilangan kesempatan mereka untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi, namun juga menikmati masa remaja mereka. “Saya sangat sedih tidak bisa menikmati masa-masa remaja saya dengan baik, kalau dulu saya bisa bermanja-manja dengan orangtua saya, saat ini tidak ada lagi, setiap hari harus kerja demi mencari nafkah. Saya juga lelah karena dipaksa untuk berpikir tentang utang-utang pernikahan, nafkah keluarga dan mengurus anak,” tuturnya. Tapi ia mengaku tidak marah kepada keluarganya yang memaksanya menikah, atau pada abangnya yang membuat ia terpaksa menikah. “Saya sudah cukup beruntung yang datang pada saya bukan kakek-kakek tapi laki-laki yang masih muda. Teman-teman saya ada yang terpaksa menikah laki-laki yang jauh lebih tua dengan mereka.” Tentu saja, meski baru kenal setelah mereka menikah, tumbuh juga perasaan sayang dalam diri Feberia terhadap suamianya. “Saya berharap sekali bisa ikut suami, tapi tidak mungkin karena biaya hidup di kota sangat tinggi,” ujarnya.

Bagi, Ina Fajar hidupnya saat ini adalah tentang berladang, mengasuh anak dan menunggu telepon dari suaminya seminggu sekali yang ia terima melalui handphone milik tetangganya. Uang yang dibayar keluarga suaminya sebesar Rp. 20 juta, saat meminang dirinya, sama sekali tidak dirasakannya. Mereka justru harus bekerja keras untuk membayar hutang keluarga suami yang harus mereka pinjam untuk meminang Feberia.  “Kadang-kadang saya berpikir mengenai kakak-kakak saya yang sekarang bekerja di kota,” ungkapnya sambil tersenyum lemah. “Jika saya tidak menikah, pasti saya yang akan bekerja di sana,” ujarnya.









Photograph by: Wahyudi Tan
Terbit di Marie Claire Indonesia edisi Mei 2015.
(Kontributor Wawancara: Dominiria Hulu)




No comments:

Post a Comment